Langsung ke konten utama

SETELAH BELASAN TAHUN

Aku tidak akan memaksamu tetap bersamaku, ketika hatimu tak lagi mengalunkan namaku. İtulah kalimat terakhir yang aku ucapkan pada Dion, suamiku atau lebih tepatnya mantan suamiku. Ya, dia memilih pergi dengan Riani, wanita yang katanya lebih baik dariku dalam segala hal. Hebat di ranjang, pandai mencari uang. Aku ini apalah, walaupun bekerja tapi gajiku pas-pasan, beda dengan Riani, seorang pimpinan Bank plat merah. Bagaimana aku bisa panas di ranjang, jika aku harus bangun jam 4 pagi untuk menyiapkan bekal anak-anakku dan Dion. Jam 7 sampai jam 4 aku kerja. Pulangnya, aku masih harus berjibaku dengan cucian, beberes rumah, mengangkat pakaian dari jemuran, mencuci piring. Belum anakku yang masih bayi, perlu banyak perhatian dari ibunya. Weekend diisi dengan menyetrika kain sekeluarga yang segunung tingginya. Kerjaan rutin mingguan seperti mencuci handuk, mencuci seprai, perlengkapan sholat, gorden, semua aku kerjakan. Dion bukan type suami yang mau membantu pekerjaan istrinya. Dia lebih suka bergaul dengan handphone daripada mengobrol denganku dan anak-anak. Tubuhku lelah, ketika malam tak ada yang aku inginkan selain tidur. Tapi Dion mana ngerti, dia minta haknya sebagai suami kapanpun dia mau. Tanpa memperdulikan, selelah apa aku hari ini. Jika aku menolak, dia marah dan mengamuk. Sebagai istri, aku sudah punya feeling, dia pasti memiliki wanita lain. Sejak dia bersikap baik denganku, lebih lembut pada anak-anak, dan tak pernah meminta hak nya di ranjang padaku. Sekarang semua terjawab. Rianilah alasannya.

Dion pergi membawa semua pakaiannya dan mobil satu-satunya milik kami. Sudahlah, fikirku. Mobil itu kan dibeli dengan uang penjualan tanah orang tuanya. Biarlah dia pergi membawanya. Untunglah, rumah yang aku tempati ini rumah kedua orang tuaku. Sebagai anak tunggal, rumah ini jatuh ke tanganku. Aku tidak berusaha menjelaskan apapun pada anak-anakku. Karena mereka tidak bertanya. Aku menyimpan semua lukaku dalam hati, aku menelan semua air mataku, agar dia tidak sempat menetes. Aku tidak ingin dunia tahu, perasaanku terluka sangat parah. 

"Ndah, ada yang nyari." Kata Bian, rekan sekerjaku. Aku  yang sedang mengentry data, mengeluh. Konsentrasiku nanti pasti tidak akan sama lagi. 

"Siapa sih Bi? Nanggung ini kerjaanku." Keluhku. 

"Gak tau ah," jawab Bian. Dia melanjutkan pekerjaannya. Aku beranjak menemui tamuku. Entah siapa. Ah, paling-paling sales asuransi atau kartu kredit. Sudah biasa.

Aku tergugu. Riani. Berdiri anggun dengan balutan blazer abu-abu, dan rok span di atas lutut. Wanita ini memang sempurna, mau apa dia kesini?

"Riani," aku menyapanya. Dia terkejut, nampak dari gerakan bahunya.

"Mbak İndah," dia menyalamiku dan mencium pipiku. Anehnya, aku bukan menamparnya, malah membalas pelukannya. Terbuat dari apa hatiku ini. Aku mempersilahkan dia duduk kembali. Untunglah, ruang tamu di kantorku ini tertutup dan terpisah dari ruangan lain. Jadi pembicaraan apapun yang akan terjadi tidak akan diketahui oleh siapapun.

"Mbak sehat? Anak-anak sehat?" Tanyanya dengan wajah pias. Malu mungkin, atau, entahlah.

"Sehat. Kamu sehat?" Tanyaku basa-basi.

"Sehat Mba," Riani merogoh tasnya, mengambil sesuatu, "ini untuk Mba." Dia menyodorkan amplop berwarna cokelat. Dari penampakannya, aku tau itu uang. Dan mungkin jumlahnya tak sedikit, karena amplop itu sangat tebal.

"Untukku? Untuk apa?" Tanyaku dengan nada sinis. Aku mulai sulit berpura-pura manis. "İtu imbalan karena telah merelakan Dion untukmu?"

Riani terhenyak mendengar perkataanku. "Gak mba, bukan begitu. İni untuk jajan anak-anak Mba." Katanya dengan gugup. Wanita ini mulai salah tingkah.

"Aku masih mampu menghidupi anakku dengan kedua tanganku Ri, kamu gak usah pura-pura kasihan. Dengan kamu merampas ayah mereka saja, kamu membuktikan bahwa kamu gak punya hati."

"Mba, aku..." Riani terdiam. Sebutir air mata jatuh. Tak tebersit sedikitpun iba di hatiku. Karena wanita ini, anak-anakku kehilangan ayahnya. Pantaskah aku memaafkannya? Cukupkah lembaran uang dalam amplop itu menebus semua yang telah ia ambil dariku, dari anak-anakku?

"Riani, sudahlah. Aku gak perlu uangmu. Milikilah Dion. Aku tidak berharap apapun lagi darinya. Mungkin, dia memang jodohmu, bukan jodohku."

"Mba, maafkan aku mba. Semua salahku, salah Dion. Maaf." Riani menangis. Dia mengambil tanganku, meletakkan amplop itu ke tanganku dan berlari. Pergi. Aku menghela nafas panjang.

Di rumah, ketika anak-anak sudah tidur, aku menghitung uang yang diberikan Riani. Uang 100.000 sebanyak 100 lembar. 10 juta. Murah sekali harga lelaki itu, fikirku. Uang 10 juta ini tidak berarti apapun dibandingkan kehadiran Dion untuk anak-anaknya. Akan aku apakan uang ini? Aku tidak mau terlalu sombong dan mengembalikan uang itu, sementara aku butuh. Mungkin akan aku belikan emas saja, untuk tabungan anak-anakku. Beginilah jalan hidupku. Aku tidak menyesali apapun. Rencana Tuhan selalu lebih baik.

Hari berlalu sangat cepat, tiba-tiba saja anakku yang pertama sudah lulus sma. Aku menangis saat menghadiri acara kelulusannya. Terbayang segala jalan yang aku tempuh demi menyekolahkan anak-anakku. Jatuh bangun dan air mata adalah teman setiaku. Tak ada tempat berbagi. Aku memutuskan tidak menikah lagi. Untuk apa? Jika hanya akan mendapat luka yang sama?

"Mam," Widi anakku, memelukku. Dia adalah lulusan terbaik. Aku bangga. Dari kecil, aku tak pernah menuntut apapun pada anak-anakku. Aku menerima apapun yang Tuhan berikan. Dah syukurlah, mereka anak baik dan tahu diri. Gak pernah menyusahkan. Widi sejak umur 7 tahun sudah bisa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Setiap aku pulang kerja, rumah dalam kondisi bersih dan sudah ada makanan yang tersedia. Dia marah jika aku melarangnya. Padahal aku sudah bilang, semua itu adalah tugasku. Dia tetap saja mengerjakan semuanya. Akhirnya aku diam saja. Banyak syukur yang aku ucapkan. Nikmat Allah sangat banyak untukku.

Perasaanku seperti meledak saat Widi menerima penghargaan sebagai lulusan terbaik. İni adalah buah dari penderitaannya sejak kecil. Hidup tanpa belaian kasih sayang ayahnya. Selalu kekurangan uang. Tiap kali menginginkan apapun, Widi menulisnya di atas kertas, melipatnya jadi pesawat, dan menerbangkannya sejauh mungkin. Katanya, agar keinginannya pun hilang. Aku sering menangis ketika melihat wajah anak-anakku yang tertidur pulas. Aku memang tidak bisa memberikan uang kepada mereka, tapi jiwa raga dan waktuku, semuanya untuk anak-anakku. Aku tidak ingin mereka menangisi kepergian ayahnya. Mereka harus tetap bahagia tanpa ayah mereka.

Widi memutuskan bekerja daripada kuliah. Akupun tidak membantahnya. Keuanganku tidak terlalu baik sekarang. Rindu, adiknya masih sekolah. Aku tak akan mampu membiayai kuliah Widi. Widi anak baik, dia diterima menjadi kasir di sebuah toko milik cina. Gajinya lumayan besar, cukup untuk biaya sekolah adiknya. Widi memintaku berhenti kerja dan membuka warung saja di rumah. Umurku sudah setengah abad. Aku menerima ide Widi. Aku membuka warung kue di rumah. Tapi sebenarnya aku hanya membuat dua macam kue, selebihnya tetangga banyak menitip kue di warungku. Keuntunganku 200 rupiah perkue. Tuhan memang adil, disinilah pintu rejekiku terbuka. Bertahun-tahun kerja tanpa menghasilkan apa-apa, baru 3 bulan buka warung aku sudah mampu membeli mobil. Walaupun second, tapi cukup layak untuk kami bertiga. Bebanku tambah ringan, karena biaya adiknya semua ditalangi Widi. Tak henti aku bersujud setiap sholat, berterimakasih atas kebaikan yang telah allah kasih. Anak-anak yang baik dan hidup yang cukup.

"Mam," kata Widi padaku, setelah makan malam kami memang menghabiskan waktu untuk ngobrol di depan televisi. Sejak mereka kecil, hingga sekarang kebiasaan itu tak pernah hilang.

"Apa Nak?" Jawabku sambil membelai rambut Rindu yang sudah tertidur di pangkuanku.

"Mama mau gak kenalan sama Pak Prabu?"

"Pak Prabu?"

"Dia bos Widi ma. Salah satu pemegang saham. Jadi Ko Iwan sama Pak Prabu ini join usaha Mah. Baik banget Mah. Duda, istrinya meninggal, gak punya anak mah. Mana tau dia mau sama mamah. Walaupun mamah dah tua." Widi terkekeh. Aku tersenyum.

"Mama gak mau nikah lagi kok. Buat apa?"

"Buat teman mamah lah. Suatu saat, Widi nikah, Rindu nikah, ikut suami. Mamah sama siapa?" Ah, anakku, adakah anak berumur 17 tahun yang berpikiran sedewasa dia?

"Makanya kamu jangan buru-buru nikah dong, temenin mama sampai tua."

"Yah, gak lah ma. Belum mau nikah, tapi widi kasian, mama kesepian. Mau ya ma kenalan sama pak Prabu."

"Males ah." Kataku. Aku memang tidak ada keinginan membuka hati untuk laki-laki lain. Aku bahagia hidup seperti ini.

"Mah, sebenarnya pak Prabu yang minta dikenalin sama mamah. Kan Widi letak foto kita bertiga mah di meja kerja Widi. Pak Prabu nanya, kenapa gak ada papa. Widi ceritakan semua. Dia malah minta kenalan sama mama."

"Ih, kamu gak boleh gitu. Masa rahasia keluarga kita bos kamu tau Wid."

"Iya mah, Widi salah. Maaf ya. Jadi gimana?"

"Terserah kamu aja lah Wid." Widi tertawa. Seperti anak kecil, dia melompat girang. Kasihan anak ini, fikirku, kawan-kawan seusianya masih sibuk memikirkan baju dan sepatu, Widi malah memikirkan kehidupan mama dan adiknya. Dipaksa dewasa sebelum waktunya. Aku menghela nafas. Berusaha tidak mengeluh kepada Tuhan. Inilah jalan hidup yang harus aku jalani.

Jam 5 sore Widi belum pulang, aku sangat cemas. Anak ini gak pernah pulang telat. Aku gelisah. Rindu pun sama. Dia sibuk menelpon Widi tapi tidak diangkat. Kemana anak itu?

Sebuah mobil parkir di depan rumah. Widi turun dari mobil dengan sumringah. Seorang pria paruh baya turun juga. Aku taksir umurnya lebih tua 3 atau 4 tahun dariku. Widi menyalamiku, "Mah, pak Prabu." Katanya dengan riang.

Aku menyalami pria itu dan mempersilahkannya masuk. Pak Prabu adalah teman ngobrol yang menyenangkan. Dia mengetahui banyak hal, dan selalu bisa membuat kami tertawa. Rumah yang dulu sepi, seketika bercahaya ketika pak Prabu ada di dalamnya. Malam ini berakhir setelah pak Prabu makan malam sederhana di rumah kami. Widi bahagia sekali melihatku yang ramah dengan pak Prabu. Karena Widi tau, aku tak pernah bersikap baik dengan laki-laki manapun.

Harapan Widi untuk melihatku hidup bersama pak Prabu melambung tinggi. Aku takut mengecewakannya, karena aku memang sudah berubah sejak Dion meninggalkanku. Hatiku membatu. Aku takut ketika pak Prabu memilihku, dia kecewa mendapati wanita yang diharapkan akan menemani sisa hidupnya ternyata wanita dingin dan kaku.

"Mama takut Wid," kataku pada suatu malam, saat hubunganku dengan pak Prabu sudah sangat dekat. Beliau menganggap Widi dan Rindu seperti anaknya sendiri. Perhatiannya tulus, aku bisa merasakannya.

"Takut apa sih Ma?" Tanya Widi. Aku senang bertukar pikiran dengan Widi. Dia dewasa dan memahami apa yang aku rasakan.

"Pak Prabu terlalu baik buat mama Wid. Mama kan kaku, nanti pak Prabu kecewa."

"Ah Mama klise banget. Kaya abege mau nolak cowok aja. Ya gak lah ma. Pak Prabu pasti gak neko-neko juga."

"Beliau baik banget Wid. Nanti Mama ngecewain."

Aku memang takut. Beberapa kali pak Prabu menampakkan rasa sayang yang besar kepadaku. Membelikan makanan kesuakaanku, mengajakku nonton, mengajak aku dan anak-anakku makan malam. Semua kebaikannya membuatku minder, karena aku tak pernah melakukan apapun untuknya.

"Gaklah Ma. Mama baik kok ma."

"Kamu kalo menghibur bisa aja Wid."

"Serius mah. Itu pak Prabu yang ngomong sama widi. Katanya mama baik, gak banyak minta. Gak matre."

"Iya Wid?" Tanyaku gak percaya.

"Iya mama sayang. Buat apa Widi bohong."

Hatiku hangat. Sejujurnya rasa cintaku pada pak Prabu mulai mekar. Sudah lama aku membiarkan hatiku beku. Tak pernah aku mengizinkan rasa apapun tumbuh dihatiku, sejak Dion pergi. Kepergian Dion titik balik terberat dalam hidupku. Kedatangan pak Prabu merubah segalanya. Ketulusannya mencairkanku. Aku jatuh cinta di usia senja. Lebih manis rasanya daripada jatuh cinta pada usia belia.

Malam ini aku kencan berdua dengan pak Prabu. Enthlah, apakah ini pantas disebut kencan. Dua orang tua yang akan pergi makan malam. Aku terkekeh tanpa sengaja.

"Kenapa?" Tanya pak Prabu dengan heran, pasti dia mendengar tawaku.

"Gak apa-apa pak. Saya hanya merasa lucu. Dua orang tua seperti kita akan pergi berkencan."

"Lucu kenapa bu Indah? Kita hanya makan malam."

"Iya pak. Tapi kita tua."

"Cinta yang matang yang kita rasakan. Beda dengan cinta muda mudi yang penuh gejolak nafsu, cinta kita ini cinta yang tenang dan dewasa."

Aku terdiam, baru sekali ini pak Prabu berbicara tentang cinta dihadapanku.

"Cinta?"

"Iya," katanya lagi, "kita saling mencintai, itu saya tau pasti."

"Kenapa bapak sangat yakin saya cinta sama bapak. Bagaimana jika bapak salah?"

"Bu Indah, kita sudah sama-sama berada di usia senja. Perasaan seperti itu tak perlu bu Indah tutupi. Dari pandangan bu Indah saja saya tau, perasaan apa yang tersimpan di hati bu Indah untuk saya."

Aku tersenyum kecil. Bahagia yang telah lama hilang, seperti terbayar sekarang. Belasan tahun aku kesepian, pak Prabu seperti melunasi semua kebutuhanku akan kasih sayang.

Malam berlalu dengan cepat. Kami makan sambil bercerita tentang masa sma kami. Ketika makanan sudah habis, pak Prabu menatapku dengan wajah serius.

"Bu Indah, saya ingin menikah dengan bu Indah." Katanya tanpa basa basi. Aku melongo. Mungkin wajahku tampak sangat bodoh. Tapi dia seperti tak perduli, dia melanjutkan perkataannya, "saya sendirian bu, saya kesepian. Saya tak punya anak, tak punya istri. Saya sayang dengan Widi dan Rindu, mereka anak-anak yang baik. Sayapun mencintai ibu mereka."

"Pak Prabu, saya....."

"Kenapa bu? Widi sudah bercerita semuanya pada saya. Tentang ibu yang merasa takut dengan perasaan ibu sendiri karena ibu terlalu lama menderita hingga hati ibu jadi kaku. Mari bersama kita lembutkan kembali hati ibu yang kaku itu. Kita habiskan hari kita bersama. Sampai entah siapa yang akan duluan pergi, dan kita saling menunggu di alam sana." Air mataku menitik. Aku terharu. Masih ada pria yang mau mencintaiku. Perempuan kaku dan hidup susah. Yang tangannya kasar karena terlalu keras bekerja, yang wajahnya kusam karena tak pernah disentuh kosmetik apapun. Aku terharu. Hati pak prabu pasti sangat tulus. Jika mau, dia bisa saja mencari perempuan lain, yang lebih muda, cantik dan kaya. Bahkan yang masih gadis sekalipun bisa dia dapatkan. Tapi dia memilihku.

"Indah," suara yang sudah lama hilang dari ingatanku, otakku merecall kembali. Suaranya, suara dia yang belasan tahun menghilang. Aku tak pernah berharap dia akan datang lagi. Apalagi sekarang.

"Dion." Dia berdiri di hadapanku dan pak Prabu. Dia menatapku, dengan tatapan rindu. Aku tak bergeming, bahkan untuk menjabat tangannya pun aku tak sudi.

"Apa kabar?" Dia mengulurkan tangan. Aku tak menyambutnya. Aku hanya diam. Pak Prabu lah yang menengahi, dia menyambut uluran tangan Dion.

"Prabu," katanya memperkenalkan diri.

"Dion. Saya suami Indah." Katanya. Aku menatapnya dengan benci. Memang, kami tidak pernah berpisah secara hukum negara, tapi di mata Tuhan, kami bukan suami istri lagi. Aku yakin itu.

"Oh," pak Prabu tersenyum. "Baiklah pak Dion, kami pulang dulu. Jika pak Dion ada perlu dengan bu Indah, silahkan langsung datang ke rumahnya."

Pak Prabu menggenggam tanganku, aku merasa aman bersamanya. Dion mencengkram bahuku kuat, mencegah aku pergi. Entah apa maunya lelaki ini. Puluhan tahun, kenapa harus muncul sekarang.

"Tolong yang sopan pak Dion. Saya bertanggung jawab atas keselamatan bu Indah." Kata pak Prabu dengan tegas. Dion tampak kesal, dia menghentakkan kakinya dengan kasar.

Di mobil, kami diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai di halaman rumahku, barulah pak prabi berbicara,

"Bu Indah, saya serius dengan pernyataan saya tadi. Mohon bu Indah pikirkan." Aku hanya mengangguk. Aku gak mood menjawabnya malam ini. Padahal hatiku sangat ingin menjawab iya.

Aku baru saja membereskan warung ketika mobil tua yang sangat aku kenal parkir di halaman rumahku. Dion. Mau apa dia?

"Mau apa?" Tanyaku ketika dia turun dari mobilnya.

"Aku ingin kembali Ndah." Aku menatapnya dengan hina. Setelah belasan tahun aku menderita, sekarang dengan entengnya dia memintaku untuk kembali.

"Aku jijik melihat kamu. Kenapa kamu ingin kembali, kamu dicampakkan Riani?"

"Jaga mulutmu Ndah. Aku yang meninggalkan dia, demi kamu. Aku rindu kamu." Dia masih saja kasar saat berbicara padaku.

"Maaf Dion, aku tidak sudi."

"Mengapa? Karena dia lebih kaya dari aku?"

"Kalau iya, mengapa? Aku berhak memilih."

"Dasar kau, tidak berubah dari dulu. Kau dan Riani sama saja. Hanya mau harta harta harta."

"Harta yang mana yang kau tinggalkan untukku Dion? Kau meninggalkanku dalam penderitaan, anak-anakku tertatih menjalani hari, pergi ke sekolah mereka seringkali dalam kondisi lapar dan tanpa uang jajan. Harta yang mana yang kau maksud?" Suaraku sangat keras. Dion sampai terdiam. Mungkin dia heran, aku yang dulu sangat penurut, sekarang berani berbicara lantang di hadapannya.

"Aku akan menebus semuanya," Dion mulai melunak, "kita ulang semua dari awal lagi Ndah."

"Maaf Dion, aku gak bisa. Kamu adalah masa lalu yang tak lagi tersimpan di hatiku. Kamu hanya bapak dari anak-anakku, itu saja. Aku sudah melupakanmu Dion. Ketika sekarang kau datang, kau hanya seperti orang asing bagiku."

"Kau sama saja dengan Riani, dia meninggalkanku untuk kembali dengan suaminya." Dion terisak, "aku tidak memiliki apapun sekarang Ndah. Hanya mobil tua ini, semuanya milik Riani. Kamu jauh lebih baik daripada dia, kamu tidak pernah menuntut apapun dariku. Riani ingin semuanya Ndah. Semua milikku."

"Aku masih menyimpan kata-katamu belasan tahun yang lalu Dion. Kau memilih dia karena dia hebat segalanya dariku, baik urusan uang ataupun urusan ranjang."

"Maafkan aku Ndah." Dion memelukku. Aku tak berusaha menepisnya, biarlah, dia perlu teman berbagi sekarang. Tapi tak dapat kupingkiri, sebagian hatiku tertawa bahagia melihat kondisi Dion sekarang. Tuhan tidak tidur, pembalasan selalu datang tepat waktu.

"Mama." Widi turun dari mobil pak Prabu. Adegan Dion memelukku pasti sudah kelihatan olehnya. Mau apalagi? Aku tak bisa mengelak.

Dion melepas pelukannya. Dia menatap Widi dengan mata berkaca-kaca. Widi anak baik, dia menyalami papanya walaupun aku tau, hatinya terguncang karena ini pertama kalinya dia bertemu papanya lagi setelah belasan tahun. Pak Prabu turun dari mobil, dia nampak canggung. Aku maklum, mungkin dia cemburu. Aku pun akan bersikap sama jika pak Prabu dipeluk oleh wanita lain.

"Maaf bu Indah, saya langsung pulang." Pak Prabu pamit dengan terburu.

"Pak, tunggu," widi menahannya. Widi sangat sayang dengan pak prabu. Dia lebih kelihatan manja jika bersama pak Prabu. "Masuk dulu pak, Widi buatkan teh." Bahkan ayahnya sendiripun tidak ditawarinya minum. Aku tersenyum. Keputusanku sudah bulat.

"Masuklah pak Prabu. Saya ingin bicara."

"Masalah apa bu Indah?"

"Saya akan menjawab pernyataan bapak kemarin. Saya mau pak. Saya mau jadi istri bapak. Saya mau menghabiskan hari bersama bapak, hingga nanti salah satu dari kita pergi dan kita saling menunggu di alam sana."

Widi melompat kegirangan. Dia memeluk pak Prabu dengan erat, sayang, Rindu belum pulang sekolah, jika sudah dia pasti sangat bahagia. Pak Prabu tersenyum manis padaku. Dion sadar, dia tidak dibutuhkan lagi di sana. Dia beranjak pergi, menghilang di ujung jalan. Tak ada yang perduli.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada blog baru ini jadi semangat buat posting. Maklum manusia purba , orang-orang udah basi tapi aku baru mulai, selalu begitu..... Jadi semalam pagi2 aku stress berat. idupin laptop gak bisa.. Padahal baru dicas sampe penuh P adahal laptop ku baru Tuhan apa yang terjadi? dengan nafsunya aku bawa laptop ke tukang serpis. sekalian komplen masa laptop baru udah rusak. sampe disana, abang yang nyerpis laptopnya cute dan kelihatannya masih sangat brondong. abang cute :"Kenapa laptopnya BUK?" ahhhh, aku ibuk2? aku : "gak mau idup bang, padahal baru di cas semalam jadi gak mungkin abis batere." Si abang cute langsung nyari cas laptop terus ngecas laptop ku. lima menit kemudian dia coba idupin dan LAPTOPNYA IDUP. IDUP!!! Langsung malu dan ingin mengubur diri. tapi tetap jaga wibawa di depan abang cute. aku : "cuma abis batere ya bang? oh, mungkin karena semalam kerja sampe pagi, jadi baterenya gak kuat." cuih cuih cuih, kerja? yang ada juga ketiduran sampai pa

MAMAK MAUNYA APA

Ini pertanyaan yang sedang mamak ajukan ke diri mamak sendiri, berkaitan dengan si kakak (halah). Rasanya, ilmu psikologi yang mamak pelajari selama 4.5 tahun sia-sia, karena anak sendiri pun gak bisa mamak kendalikan kelakuannya.  Jadi di rumah mamak, ada tetangga baru, rumah yang dulunya kosong, kini terisi kembali. Hati mamak gembira sekali, mana tetangga mamak ini bakul kue pulak. Ah, cocok kali rasa mamak kan. Tapiiiiiii.... si kakak, yang sangat antusias tetanggaan sama teman satu sekolah, euforianya keterlaluan. Buka mata pengen langsung main ke tetangga, dan jadi sering ngebentak-bentak kalo dibilang jangan pergi main. Yah, kan gimana ya, namanya juga orang, pengen tidur, istirahat, makan dan punya banyak waktu bersama keluarganya. Dan kalau si kakak main disitu berjam-jam, yang punya rumah pasti eneg, mau nyuruh pulang gak enak, mau dibiarin makin gak enak. Mamak udah ngasi ceramah sama si kakak, semua stok ceramah agama mamak udah mamak keluarkan. Tapi gak mempan

GAMBAR MAMAK

Semalam si kakak menggambar sesuatu di kertas bekas merk jaket. Dan pas udah selesai, taraaaaaaaa... Kata si kakak, "ini gambar bunda." Mamaknya sih ketawa, ngasi jempol. Dan si kakak mesem-mesem bangga dipuji mamaknya. Tapi sebenarnya dalam hati mamak bergejolak. Kenapa gambar mamak kaya gini, muka mamak dicoret-coret pulak. Maksudnya menggambarkan apa ini nak? Ditambah hidung mamak double gitu. Beserak-serak muka mamak yang ada dalam benak si kakak. Mungkin, ini teguran dari kakak dan Tuhan. Sebagai mamak, mamak masih berantakan dalam mendidik si kakak, gak bisa kasi contoh yang baik juga. Hobi ngomel dan marah-marah. Tiap dia mau ngomong disuruh diam. Sampai-sampai, si kakak tiap malam ngomong, "Bund, Pa, kakak haus." Mamak bapaknya yang flat ini ngomong, "minumlah kalau haus." "Kakak haus perhatian." Mamak sama bapak pandang-pandangan. Terus ketawa.  Padahal banyak makna pastinya dari kata-kata si kakak itu. Seja