Langsung ke konten utama

DI PERSIMPANGAN

Aku sanggup menahan sakit. Sesakit apapun. Kecuali jika kamu yang menyakitiku. Aku tak mampu. 

"Kamu ingat kan waktu aku melahirkan Ki. Sampai pembukaan 10 aku gak mengeluhkan sakit apapun. Ingat?" Kataku pada Rizki, suamiku. Dia diam, membisu, membatu. Aku bahkan tak yakin dia mendengarkan suaraku. "Kamu ingat waktu aku melahirkan Ina? Aku harus sc karena ketubannya sudah keruh? Ingat? Aku takut Ki, sangat takut, masuk sendiri ke ruang OK. Tapi adakah aku mengeluh?" Rizki tetap diam. "Sakit Ki, luka bekas sc nya saja masih sakit sampai sekarang, padahal Ina sudah setahun. Tapi sepatah katapun aku gak pernah menyatakan sakit di hadapan kamu." Rizki tetap diam. Entah apa yang difikirkannya. "Tapi aku gak sanggup Ki, kalo sakit itu berasal dari kamu. Bentakanmu, kekasaranmu, pukulanmu. Aku gak kuat." Rizki mulai bereaksi. Tangannya mengepal. Mungkin dia emosi. 5 tahun berumah tangga, Rizki gak pernah berada di posisi 'mendengarkan' seperti sekarang, dia selalu 'didengarkan'. Dia dominan, dia kapten, dia bos dan dia pengambil keputusan. Aku hanya pengasuh anaknya yang merangkap masak dan beberes rumah. Selebihnya aku tak ada arti. Pekerjaan adalah segalanya. Bahkan ketika dia pulang, jiwanya masih di kantor. Di rumah dia masih berjibaku di depan laptop, mengabaikan Ino dan Ina, anaknya. Sakit hatiku saat melihat dia membentak Ino dan Ina. Aku melawan, dan dia murka. Pukulan dan tendangan mendarat d tubuhku. Untuk pertama kalinya setelah 5 tahun. Untuk pertama kalinya di depan anak-anakku. 

Aku memasukkan lembaran baju terakhir ke dalam koper. Baju Ino dan Ina sudah aku bereskan terlebih dahulu. Aku akan pulang ke rumah orang tuaku, sementara. Rizki duduk di meja makan, dengan muka kaku. Aku tahu, dia pun pasti shock karena telah memukulku. Rizki bukan orang yang jahat, namun dia mudah emosi. Aku gak kuat lagi mendengar bentakannya. Biarlah aku mengalah. 

"Aku pergi." Kataku.

"Kemana?" Akhirnya Rizki bersuara.

"Aku akan kembali kerumah orang tuaku."

"Kamu mau bercerai?" Ada rasa takut pada suaranya. Takut tapi angkuh. 

"Aku gak pernah bilang aku mau cerai. Aku akan kembali ke rumah orang tuaku. Mungkin, kita sama-sama perlu ruang bernafas Ki. Supaya gak sesak dan ujung-ujungnya saling menyakiti."

"Kamu, gak pernah menyakitiku Run."

"Pasti Ki. Karena aku cinta kamu. Aku gak bisa. Aku meninggalkan semuanya demi kamu. Karirku, teman-temanku, semuanya Ki. Kamu tau, kalau aku masih kerja, pasti aku sekarang udah doktor, beasiswa s3 dari kampus aku tinggalkan Ki." Aku mengambil nafas sejenak, "aku menutup telinga dari perkataan orang, s2 kok jadi irt. Gak sayang ijazahnya. Aku gak perduli Ki. Selama kamu ada. Tapi sekarang, mungkin harapanku untuk melihat kamu selalu ada bersamaku itu ketinggian. Sekarang waktunya kamu mikir Ki. Pikirin apakah kamu masih butuh aku. Kalau gak, aku gak akan menyulitkanmu. Kamu tau Ki, tendangan kamu, pas kena bekas sc ku. Sakit. Sangat sakit."

Aku menggendong Ina dan menggandeng Ino. Aku tinggalkan Rizki. Dia tak berusaha menahanku. Sedikit kecewa. Aku berharap dia akan menahan kepergianku, memohon dan meminta maaf. Aku hanya ingin itu. Tapi Rizki terlalu sombong. 

Ibu dan ayahku tidak berkata apapun saat mereka menjemputku ke bandara. Perjalanan dari Jakarta ke Pekanbaru kali ini melelahkanku. Emosiku terkuras habis di atas pesawat. Untunglah Ino dan Ina tidur. Aku bisa menangis tanpa mereka lihat. Aku tidak ingin anak-anakku tau ibu mereka sedang bersedih. 

Hari demi hari yang aku jalani di rumah orang tuaku menyenangkan. Aku seperti napak tilas masa kecilku. Apalagi ibu sekarang sudah pensiun, dia bahagia menghabiskan waktu bersama Ina dan Ino. Aku banyak merenung, dan melamun. Aku tau, ayah dan ibu ingin tahu, ada apa sebenarnya. Aku tidak pernah pulang tanpa Rizki. Tapi mereka cukup menghargai privasiku. Mereka tidak bertanya apapun. Mereka diam saja, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Run, ada Dian." Ibuku muncul di kamar. Aku kaget, darimana Dian tau aku disini? Dian temanku sesama dosen dulu. Bedanya dia masih ngajar, aku udah berhenti.

"Aruni." Dian berteriak histeris melihatku. Dia memelukku lama. Aku tersenyum. Kami bersahabat dari sma. Hingga s2 masih bersama.

"Kamu tau darimana aku disini Yan?" Tanyaku.

"Feeling Run. Feeling." Dian tertawa.

"Feeling apa sih? Serius. Kamu tau dari mana?"

"Tadi aku lewat, terus lihat jemuran ibu. Kok ada daster kamu. Daster yang dulu aku kasih waktu kamu nikah Run. Makanya aku mampir." Gantian aku yang tertawa. Memang itu daster kesayanganku. Awet dan nyaman. Udah 5 tahun belum rusak.

"Kamu ngapain kesini? Rizki mana?"

"Rizki keluar kota lama, makanya aku pulang," Jawabku sekenanya. Bahkan aku gak tau kabar Rizki gimana. 2 minggu disini, dia belum pernah sekalipun menghubungiku. Mungkin, dia memang gak butuh aku.

"Eh, jalan yuk." Kata Dian, "mau main ke kampus gak?"

"Boleh. Ntar aku bilang ibu ya."

Siang ini, aku jalan dengan Dian. Main ke kampus tempatku mengajar dulu. Ketemu dengan ketua prodi yang semangat melihatku kembali. Dia fikir aku tinggal di sini lagi, dia mau minta aku ngajar lagi. Aku hanya bilang, saya fikir dulu bu.

Reuni kami diakhiri dengan makan sore. Kami memilih steak. Makanan favorit kami sejak sekolah. Jujur aku canggung sebenarnya. Aku jarang berhubungan sama Dian. Aku gak pernah bertanya kabar padanya secara pribadi. Bisa dibilang kami lost contact sejak aku pindah. Jadi aku bingung mau ngobrolin apa dengan dia.

"Rizki gimana kabarnya?" Tanya Dian membuka kata, setelah kami memesan makanan.

"Baik. Diaz gimana Yan?" Aku balik bertanya pada Dian tentang suaminya.

"Serius kamu mau tau?" Dian tersenyum jenaka. Aku tertawa. Dian memang dari dulu sosok yang ceria  jarang aku melihat dia sedih. Oh, sekali, waktu aku pindah, dia menangis di bandara.

"Kamu apaan sih. Iya, mau tau."

"Aku udah pisah Run." Aku melotot. Kaget. Siapa yang gak kenal Dian dan Diaz, dari smp kelas 1 mereka udah pacaran, sampai menikah, gak pernah putus nyambung. Menikah pada usia 26 tahun. Setelah 13 tahun pacaran.

"Pisah? Serius?" Aku masih gak percaya.

"Iya Run. Aku nikah cuma 2 tahun." Dian bercerita tanpa rasa. Tak ada marah ataupun luka.

"Wahhhh, 13 tahun Yan, kenapa cepat menyerah?"

"Kenapa ya? Hahahhaha." Dian tertawa.

"Kamu apaan sih Yan." Aku bersungut. Kesal karena Dian gak serius.

"Serius nih. Aku emang udah cerai Aruni Prameswari. Kamu sih, apatis abis pindah. Sekalipun kamu gak pernanh nanyain kabar aku. Gak pernah wa, bbm, nelpon, aku komen facebook kamu, gak pernah respon." Aku diam. Merasa bersalah sebenarnya. Karena Dian memang benar. Aku seperti asik dengan duniaku sendiri sejak menikah. Bisa dibilang, aku gak pernah berinteraksi dengan dunia luar. Aku gak punya kawan lagi, aku gak punya aktivitas selain mengurus Rizki, Ino dan Ina.

"Maaf Yan. Aku memang salah."

"Iya Run. Gak papa. Semua udah lewat. Aku udah gak sedih lagi kok."

"Tapi Yan, kamu kenapa pisah? Udah 13 tahun pacaran Yan, seharusnya udah saling mengenal."

"Aku mandul Run. Diaz gak bisa terima. Dia tetap ingin punya anak. Jadi ya udahlah, aku sama dia memutuskan untuk pisah. Apa gunanya kami menikah? Kalau sampai matipun aku gak bisa memenuhi harapannya." Aku menggenggam tangan Dian erat. Aku tau, pasti berat menjadi Dian. Saat aku berada dalam posisi seperti ini, yang membuat aku kuat hanya anak-anakku. Aku gak bisa membayangkan menjadi Dian. Pasti sepi hidupnya.

"Yan, maaf ya, aku malah ngungkit-ngungkit luka kamu. Padahal, aku selama ini gak perduli dengan dunia luar. Aku egosentris Yan. Kamu sahabatku, tapi aku yang terakhir tau kamu punya masalah seberat itu." Aku menghapus air mataku.

"Udah deh. Im fine Run. Kamu tau kan aku. Gak ada masalah yang bisa menghancurkanku."

Aku dan Dian ngobrol lama. Kami cekikikan berdua. Seperti kembali ke masa lalu. Moment ini adalah moment yang paling sering kami alami, makan berdua berjam-jam sambil cekikikan. Kadang hingga tempat makannya tutup.

"Diaz." Bisikku pada Dian. Kami sedang makan malam di sebuh warung pecel lele. Aku memang seperti anak perawan di sini. Tanpa suami, tanpa anak. Ibuku mengurus Ina dan Ino dengan sangat telaten. Rizki? Entahlah, sebulan berlalu dan dia tak pernah menghubungiku. Lupa mungkin, atau memang sudah ingin berpisah. Who knows.

Dian yang memang bawaannya happy malah mencari Diaz. Dian diam ketika melihat Diaz bersama seorang wanita. Tapi bukan Dian namanya kalau gak cuek.

"Diazzzz..." dia teriak memanggil Diaz. Aku geleng-geleng kepala. Diaz kaget. Wajahnya pias melihat Dian. Dian sebaliknya, tampak bahagia bertemu Diaz kembali. Mereka bersalaman dan menanyakan kabar, basa basi.

"Kenalin Mok, Winda." Diaz memang punya panggilan khusus untuk Dian, Semok. Dan itu sudah sangat lekat di lidah Diaz. Sampai sekarang, Diaz masih memanggil Dian Semok.

"Dian," Dian menyalami Winda dengan senyum lebar. Aku lihat malah Winda yang merasa gak nyaman, heran mungkin, Diaz menyebut 'Mok' sementara namanya Dian. Setelah obrolan singkat, Diaz pamit. Mereka gak jadi makan. Kami ketawa. Karena menurut Dian, itu kemenangan kami, karena bisa membuat Diaz gak nyaman berada di dekat kami.

Jam 11 malam aku sampai di rumah. Ina dan Ino sudah tidur di kamar bapak dan ibu. Di sini aku memang lebih banyak sendiri. Tuhan seperti memberi waktu padaku untuk berfikir. Memikirkan hubunganku dan Rizki. Aku menghela nafas. Sebulan. Sepertinya, dia memang gak membutuhkanku. Handphoneku berbunyi. Rizki. Jantungku copot rasanya. Aku gak siap. Tapi gak mungkin gak aku angkat.

"Hmmmmmmm." Jawabku enggan. Padahal jika dilihat jauh ke dasar hatiku, aku kangen dengan Rizki.

"Aruni." Suaranya yang jantan. Jantungku deg-degan. Seperti remaja belia.

"Iya."

"Kamu sehat? Anak-anak gimana?"

"Sehat." Jawabku singkat. Padahal aku ingin berkata panjang.

"Maaf Run. Aku baru sempat menghubungi kamu. Aku sibuk."

"Sebulan? Sibuk? Oke. Aku percaya. Pasti sulit menyisihkan waktu semenit untuk kirim sms atau wa atau bbm."

"Run, udahlah. Kamu jangan sarkas."

"Ya sudah."

"Maaf ya Run, aku belum sempat jemput kamu. Kerjaanku padat."

"Kapan kerjaan kamu gak padat? Udah padat juga duitnya gak kelihatan." Aku menutup bibirku. Keceplosan. Masalah ini sudah lama aku simpan dalam hati. Masalah keuangan kami yang selalu kurang.

"Maksud kamu?" Suara Rizki terdengar emosi. Terlanjur basah, fikirku, sekalian saja aku keluarkan semuanya.

"Iya, kerja dari subuh sampai tengah malam, tapi duitnya mana? Uang belanja tiap tanggal 10 habis, rumah udah 5 tahun ngontrak. Waktu, materi, kasih sayang semua gak aku dapat Ki." Aku mengontrol suaraku agar gak terdengar siapapun makhluk bernyawa di rumah ini yang belum tidur.

"Aku gak tau kamu merasakan kaya gitu Run."

"Gak tau? Gak tau apa gak mau tau? Tabunganku sejak gadis sedikit demi seditkit abis buat biaya hidup kita. Emas-emasku, dari remaja, hadiah pernikahan, mas kawin semua habis. Habis. Dan kamu tau Ki. Tau!"

"Run, aku fikir kamu ikhlas."

"Aku ikhlas. Aku ikhlas kamu menghabiskan semua milikku. Tapi jika ditambah kasar dan kekerasan, aku gak mau."

"Run, aku...."

"Kamu anggap aku apa? Pengasuh anakmu? Tukang masak? Atau pembantu rumah tangga?"

"Kamu istriku."

"Tapi kenapa kamu perlakukan aku seperti pembantu? Aku ikhlas Ki, meninggalkan semuanya, semua di sini, karir, keluarga, tapi tolong, tolong kamu jangan menjadikanku patung di sana. Aku manusia, kalau kamu gak suka sama aku, bilang jujur."

"Kamu ngomongnya kejauhan Run. Jauh banget. Hal-hal remeh kaya gini harusnya gak kamu besar-besarkan."

"Itulah Ki, kamu egois. Semua yang aku bilang, yang aku rasakan, yang aku inginkan, kamu anggap remeh dan gak penting. Yang gak remeh apa? Kerjaan?"

"Kamu berubah, sejak di sana kamu berubah. Kenapa? Ada orang lain yang menafkahi kamu? Anton?" Rizki mulai sinis. Anton adalah mantan pacarku. Dia sempat meminta Rizki membatalkan pernikahannya denganku dulu.

"Otak kamu kotor Ki. Aku malah udah lupa sama Anton. Karena kamu yang ingatkan, besok aku cari dia."

"Mau ngapain? Mau minta uang? Mau bilang suami kamu susah?"

"Iya. Kenapa?"

"Terserah kamu! Aku capek."

"Capek capek capek! Kamu memang selalu capek kalo sama aku dan anak-anak." Telepon ditutup Rizki. Mungkin dia malas berdebat panjang denganku.

Entah setan mana yang masuk ke pikiranku, aku menerima tawaran mengajar di kampus tempat aku mengajar dulu. Tanpa izin Rizki. Padahal, ke pasar pun aku gak pernah tanpa izinnya. Aku tau aku salah. Salah besar. Dosa besar. Tapi memukulku, menendangku, berkata kasar padaku, itu juga adalah kesalahan. Aku ngajar cuma dua kali seminggu. Part time. Aku juga gak berani spekulasi dengan mengambil kerjaan jadi dosen tetap. Bisa aku bayangkan Rizki bakal semarah apa. Bukan karena aku ngajar, tapi karena aku lancang, ngambil keputusan besar tanpa izin dia.

Dua bulan, dan Rizki belum pernah menelpon lagi. Tapi tiap bulan dia mengirimkan gajinya untukku. Jujur, aku merasa kesepian tanpa Rizki. Memang, dia dingin, kaku dan keras. Tapi dia sering juga membuatku tertawa dengan joke garingnya. Dia juga sabar menemaniku berburu diskon diapers, menggendong Ina dan menemani Ino main, sementara aku belanja. Dia juga mengerti jika aku lelah dan gak mood memenuhi kewajibanku sebagai istri. Aku ini kenapa? Masalah sepele aku besar-besarkan. Lalu apa yang aku cari disini? Kenyamanan? Kesendirian? Kebebasan? Apa?

Aku mulai berfikir. Tujuan pernikahan kami apa? Rizki gak pernah menjanjikan hidup senang. Dari dulu aku sudah tau gajinya cuma sekian sekian, dan dia gak pernah menututku untuk berhenti ngajar. Awalnya malah kami ldr, dia tau aku biasa bekerja, dia gak maksa aku resign. Dia bilang, Jakarta ke Pekanbaru cuma 2 jam Run, gak masalah. Dia pun sadar mungkin, gajinya gak besar, makanya dia biarkan aku bekerja. Tapi aku memutuskan berhenti kerja dan menyusul Rizki. Lalu kenapa aku mengungkit masalah uang? Inikan pilihanku. Kan memang tugasku memastikan uang dari Rizki cukup untuk biaya hidup sebulan. Aku sedih. Aku pun egois sebenarnya.

"Run, makan yuk." Dian menyusulku ke kelas saat aku baru selesai ngajar. Aku mengangguk. Tiga bulan berlalu sejak aku pulang ke rumah ibu, dan sejak berkelahi di telepon, Rizki belum ada menelponku.

Kami makan di kantin kampus. Dian masih banyak jam ngajar habis ini, jadi waktunya gak cukup untuk nyari makan keluar.

"Run, Diaz ngelamar aku lagi?" Kata Dian.

"Haaaaaa? Are you kidding?" Aku kaget. Kenapa dia kaya mempermainkan pernikahan gitu.

"Iya Run. Aku juga kaget. Tanpa ada pendekatan atau apapun, dia datang ke rumah, berlutut dan ngelamar. Aku sampai gak bisa ngomong."

"Gak cukup hanya berlutut dan melamar kan Yan. Dia ngebuang ludah, masa mau dijilat lagi."

"Iya sih. Tapi manis banget Run. Tau gak kamu dia bilang apa?" Mata Dian membesar. Pasti dia sangat bahagia.

"Apa?"

"Diandra Anugrah, aku minta maaf pernah meninggalkanmu. Izinkan aku mencintaimu lagi, gak ada wanita seperti kamu. Aku gak perduli walaupun kita gak akan pernah bisa punya anak, aku gak perduli kamu mandul. Aku gak perduli apapun. Aku hanya ingin kamu kembali Mok."

"Hebat kamu sampai hapal. Gak ada yang salah tuh?" Tanyaku dengan sinis. Dian ketawa.

"Gaklah, soalnya abis dia pulang, kata-katanya aku catat di buku."

"Niat banget sih."

"Abisnya manis banget Run."

"Terus kamu jawab iya?"

"Belum sih, aku diam aja. Shock dan bahagia itu bikin lidah kelu Run." Dian ketawa. Aku bersungut. Hatiku masih sakit mengingat Diaz mencampakkan Dian begitu saja. Tapi, jika memang mereka berjodoh, aku mau bilang apa?

"Rencananya mau nerima apa nolak?" Tanyaku lagi.

"Terima dong, masa ditolak." Dian ketawa lagi. Dian bahagia, tampak jelas. Aku tersenyum. Memang, cinta bisa merubah segalanya. Mungkin, Diaz gak menemukan perempuan lain yang bisa menerima dia seperti Dian. Dibalik sikap cueknya, Dian adalah perempuan yang sangat baik, nerimo dan mengalah. Apalagi yang dibutuhkan lelaki selain itu? Mengalah adalah kunci keberhasilan rumah tangga. Makin banyak istri mengalah, langgenglah rumah tangganya.

Rizki menelpon lagi ketika aku baru sampai rumah. Rumah sepi. Ino ikut ibu ke luar kota. Mereka liburan. Sebenarnya ibu mengajakku, tapi karena aku masih ngajar aku gak bisa ikut. Ina tinggal bersamaku, untunglah ada pembantu ibu di rumah, jadi jika aku ngajar Ina bersamanya.

"Ya Ki."

"Run, maafin aku."

"Ki?" Jujur aku kaget, meminta maaf bukan gaya Rizki.

"Maaf Run, untuk semua rasa sakit yang kamu rasakan selama bersamaku. Jangan tinggalin aku Run. Aku gak bisa tanpa kamu dan anak-anak." Air mataku menetes. Pasti dia telah mengubur semua gengsinya untuk mengucapkan kalimat itu padaku. Rizki yang aku kenal, bukan Rizki yang mau minta maaf, bukan Rizki yang mau memohon, Rizki memiliki ego tinggi, seperti kebanyakan lelaki. Tapi kali ini, Rizki berbeda.

"Ki, aku juga minta maaf," suaraku tercekat. Air mataku menetes, aku gak sanggup menyambung kalimatku.

"Run, maukah kamu kembali bersamaku. Aku janji akan berubah."

"Aku mau Ki, tapi..."

Pintu kamar terbuka, Rizki berdiri di sana sambil menggendong Ina. Hapeku terlepas. Kejutan yang beruntun ini melemahkanku. Rizki memelukku. Untuk pertama kalinya, setelah 5 tahun menikah, dengan lembut dan penuh cinta.

Aku menghapus air mata setelah Diaz selesai mengucapkan ijab kabul. Acara sakral ini hanya dihadiri oleh orang terdekat, termasuk aku. Syukurlah Dian akhirnya kembali pada Diaz. Mereka memang diciptakan untuk satu dan lainnya.

"Semoga kali ini untuk selamanya ya Yan." Aku memeluk Dian. Dian tersenyum. Mungkin separuh hatinya sedih. Besok aku akan kembali ke Jakarta. Setelah ujian semester berakhir, aku memutuskan kembali. Sudah terlalu lama aku pergi.

"Ino tinggal disini aja ya Run," kata ibu. Dia yang paling sedih aku pulang karena mau berpisah dengan cucu-cucunya.

"Jangan dong Bu, Runi gak bisa pisah dari anak-anak."

"Kamu tinggal sini aja Run, ngajar lagi. Rizki kan gak melarang. Ya? Ibu kesepian cuma sama ayah di rumah."

Aku tersenyum, memahami kegelisahan ibu. Kelak, aku mungkin akan mengatakan hal yang sama pada Ina.

"Gak bisalah Bu. Kalau begitu, kapan Runi dewasanya. Kasian Rizki bu. Runi udah terlalu lama disini."

"Pasti ibu kangen sama Ina dan Ino. Kamu sering pulang ya Run."

"Insya Allah Bu. Doakan rejeki Rizki banyak ya bu. Supaya bisa sering pulang."

'Kangen' aku membaca bbm dari Rizki sambil tersenyum.

'Aku berangkat jam 1' aku membalas bbm nya.

'Aku udah di bandara Run. Gak sabar nunggu jam 1'

Aku tertawa dalam hati. Masih jam 8 pagi, dan Rizki sudah menunggu di bandara. Untuk pertama kalinya, hatiku merasa hangat karena merasakan cinta Rizki yang besar padaku.

"SELESAI"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada blog baru ini jadi semangat buat posting. Maklum manusia purba , orang-orang udah basi tapi aku baru mulai, selalu begitu..... Jadi semalam pagi2 aku stress berat. idupin laptop gak bisa.. Padahal baru dicas sampe penuh P adahal laptop ku baru Tuhan apa yang terjadi? dengan nafsunya aku bawa laptop ke tukang serpis. sekalian komplen masa laptop baru udah rusak. sampe disana, abang yang nyerpis laptopnya cute dan kelihatannya masih sangat brondong. abang cute :"Kenapa laptopnya BUK?" ahhhh, aku ibuk2? aku : "gak mau idup bang, padahal baru di cas semalam jadi gak mungkin abis batere." Si abang cute langsung nyari cas laptop terus ngecas laptop ku. lima menit kemudian dia coba idupin dan LAPTOPNYA IDUP. IDUP!!! Langsung malu dan ingin mengubur diri. tapi tetap jaga wibawa di depan abang cute. aku : "cuma abis batere ya bang? oh, mungkin karena semalam kerja sampe pagi, jadi baterenya gak kuat." cuih cuih cuih, kerja? yang ada juga ketiduran sampai pa

MAMAK MAUNYA APA

Ini pertanyaan yang sedang mamak ajukan ke diri mamak sendiri, berkaitan dengan si kakak (halah). Rasanya, ilmu psikologi yang mamak pelajari selama 4.5 tahun sia-sia, karena anak sendiri pun gak bisa mamak kendalikan kelakuannya.  Jadi di rumah mamak, ada tetangga baru, rumah yang dulunya kosong, kini terisi kembali. Hati mamak gembira sekali, mana tetangga mamak ini bakul kue pulak. Ah, cocok kali rasa mamak kan. Tapiiiiiii.... si kakak, yang sangat antusias tetanggaan sama teman satu sekolah, euforianya keterlaluan. Buka mata pengen langsung main ke tetangga, dan jadi sering ngebentak-bentak kalo dibilang jangan pergi main. Yah, kan gimana ya, namanya juga orang, pengen tidur, istirahat, makan dan punya banyak waktu bersama keluarganya. Dan kalau si kakak main disitu berjam-jam, yang punya rumah pasti eneg, mau nyuruh pulang gak enak, mau dibiarin makin gak enak. Mamak udah ngasi ceramah sama si kakak, semua stok ceramah agama mamak udah mamak keluarkan. Tapi gak mempan

GAMBAR MAMAK

Semalam si kakak menggambar sesuatu di kertas bekas merk jaket. Dan pas udah selesai, taraaaaaaaa... Kata si kakak, "ini gambar bunda." Mamaknya sih ketawa, ngasi jempol. Dan si kakak mesem-mesem bangga dipuji mamaknya. Tapi sebenarnya dalam hati mamak bergejolak. Kenapa gambar mamak kaya gini, muka mamak dicoret-coret pulak. Maksudnya menggambarkan apa ini nak? Ditambah hidung mamak double gitu. Beserak-serak muka mamak yang ada dalam benak si kakak. Mungkin, ini teguran dari kakak dan Tuhan. Sebagai mamak, mamak masih berantakan dalam mendidik si kakak, gak bisa kasi contoh yang baik juga. Hobi ngomel dan marah-marah. Tiap dia mau ngomong disuruh diam. Sampai-sampai, si kakak tiap malam ngomong, "Bund, Pa, kakak haus." Mamak bapaknya yang flat ini ngomong, "minumlah kalau haus." "Kakak haus perhatian." Mamak sama bapak pandang-pandangan. Terus ketawa.  Padahal banyak makna pastinya dari kata-kata si kakak itu. Seja