Bekerja di rumah sakit itu bagiku adalah anugrah. Disini aku belajar banyak bersyukur. Setiap melihat pasien sakit, korban kecelakaan dan kematian, aku berterimakasih pada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk bernafas. Seringkali pasien sakit parah itu merintih-rintih. Entah berapa kali pula aku melihat peristiwa sakaratul maut. Terkadang aku berfikir, bagaimanakah peristiwa sakaratul mautku kelak? Apakah akan berteriak pilu seperti pasien kecelakaan yang aku lihat 2 bulan lalu, atau seperti pasien asma kemarin, yang melewati saat-saat terakhirnya dengan zikir. Mudah-mudahan aku pergi dalam keadaan baik.
Setahun belakangan ini, aku tidak lagi ditempatkan di ruang rawat. Tapi pindah ke bagian administrasi. Mungkin karena latar belakang ilmu komputer yang aku miliki, jadi walaupun pendidikanku perawat, tapi aku dianggap mampu untuk menghandle bagian administrasi. Sebenarnya aku kurang suka pekerjaanku yang baru ini. Mungkin karena belum terbiasa. Ditambah lagi, aku mengurus surat kematian. Setiap keluarga pasien yang ingin mengurus surat kematian keluarganya, berurusan denganku. Tidak ada yang salah dengan pekerjaanku ini, jika saja setiap keluarga pasien itu datang pada waktu yang tepat, pada jam kerja, jam 8 sampai jam 4 sore. Jika lewat jam itu, maka kalau ada data pasien yang tidak lengkap, aku tidak bisa melihatnya di bagian rekam medik, tapi harus langsung ke gudang penyimpanan status pasien meninggal. Pasien exit. Mencari berkas pasien exit di dalam gudang ini gak bisa sebentar. Ribuan pasien exit, dan harus menemukan satu berkas pasien exit.
Hari ini aku sibuk. Dari pagi keluarga pasien tak berhenti. Aku bahkan belum sempat makan siang. Di ruangan ini, ada 6 orang kawan seruanganku. Semua urusan surat menyurat. Surat kehamilan, surat kematian, surat rujukan dan bagian surat menyurat karyawan. Jarang ada karyawan yang mau duduk di surat kematian ini. Seperti melanggar pamali. 2 karyawan yang sebelumnya di sini, resign karena sakit keras. Aku, orang yang sangat tidak percaya mitos, menerima keputusan direktur mengisi tempat ini. Bagiku ini lebih baik, daripada harus masuk malam. Disini jam kerjaku teratur.
Hari ini aku sibuk. Dari pagi keluarga pasien tak berhenti. Aku bahkan belum sempat makan siang. Di ruangan ini, ada 6 orang kawan seruanganku. Semua urusan surat menyurat. Surat kehamilan, surat kematian, surat rujukan dan bagian surat menyurat karyawan. Jarang ada karyawan yang mau duduk di surat kematian ini. Seperti melanggar pamali. 2 karyawan yang sebelumnya di sini, resign karena sakit keras. Aku, orang yang sangat tidak percaya mitos, menerima keputusan direktur mengisi tempat ini. Bagiku ini lebih baik, daripada harus masuk malam. Disini jam kerjaku teratur.
Rumah sakit ini bukan rumah sakit besar. Rumah sakit milik pemerintah di kabupaten. Terdiri dari 2 lantai. Aku bekerja di lantai 2. Aku mengerti, keluarga pasien pasti merasa lelah mengurus urusan surat menyurat, ditambah mereka sedang berduka. Jadi aku menerima semua sikap buruk mereka. Lebih kepada memaklumi. Banyak hal yang pastinya membuat mereka bersikap begitu. Kesedihan mendalam ditinggalkan keluarga, kehilangan tulang punggung, kehilangan istri, kehilangan anak. Karena itulah, ketika mereka tidak sabar atau marah, aku diam saja.
"Kamu sih, terlalu sabar Nggi," Kata Dedi, teman seruanganku, bagian surat kelahiran.
"Ya gimana lagi Ded. Aku kasihan. Mereka itu lagi kemalangan loh. Terus gak mungkin kita pun bersikap yang sama. Nanti berantem, komplen ke manajemen, aku juga yang kena semprot," ujarku.
"Alah, semua pasien emang gak sabaran kok Nggi. Sok ngerasa bener, harus cepat. Gak bisa gitu Nggi. Kamu harus tegas."
"Ya udahlah Ded. Wajar mereka ingin cepat. Tentu mereka harus mengurus asuransi, dan memikirkan kelangsungan hidup keluarganya. Apa salahnya kita mempermudah urusan mereka sih Ded." Seorang keluarga pasien exit memang baru saja memarahiku, karena katanya, dia sudah berhari-hari mengurus surat kematian tapi belum juga selesai. Aku hanya tersenyum tadi. Mungkin Dedi kesal, karena kata-kata keluarga pasien exit tadi memang kasar. Jika aku menjadi keluarga dari pasien exit itu, bisa jadi aku akan bersikap sama.
"Ya udahlah Ded. Wajar mereka ingin cepat. Tentu mereka harus mengurus asuransi, dan memikirkan kelangsungan hidup keluarganya. Apa salahnya kita mempermudah urusan mereka sih Ded." Seorang keluarga pasien exit memang baru saja memarahiku, karena katanya, dia sudah berhari-hari mengurus surat kematian tapi belum juga selesai. Aku hanya tersenyum tadi. Mungkin Dedi kesal, karena kata-kata keluarga pasien exit tadi memang kasar. Jika aku menjadi keluarga dari pasien exit itu, bisa jadi aku akan bersikap sama.
Jam 4 aku bersiap untuk pulang. Di bagian perawatan, kerja 3 shift, pagi, sore dan malam. Di sini seperti jam kerja pada umumnya. Tiba-tiba seorang bapak datang dengan mata merah. Aku menghela nafas, mungkin keluarganya baru meninggal.
"Bu, tolong buatkan surat keterangan kematian bu, istri saya baru meninggal," terisak dia menjelaskan, "bolehkah suratnya saya jemput besok bu? Saya harus mengurus kepulangan jenazah istri saya. Rumah saya jauh bu." Aku hanya mengangguk. Aku selalu larut dalam kesedihan jika berhadapan dengan keluarga pasien exit seperti ini. Untung saja komputer belum aku matikan. Aku memutuskan untuk membuat langsung surat kematian pasien ini. Waktu kematian tidak dibuat dalam surat yang dilampirkan si bapak tadi. Aku gelisah. Ingin pulang, tapi pasti akan jadi masalah besok. Besok sabtu, aku libur. Tapi Dedi piket. Biasanya memang aku akan menyiapkan seluruh surat yang masuk pada hari Jumat, jadi siapapun yang piket hari Sabtu tidak akan kerepotan jika keluarga pasien exit datang mengambil surat.
Aku tenggelam di antara ribuan file. Mencocokkan nomor medical record nya. Baru bisa aku menemukan.
"Meninggal pasca sc," gumamku. Dan pintu ruangan terhempas. Aku merinding. Jantungku berpacu kencang. Kakiku lemas. Nafasku seperti berhenti. Apakah dia marah aku membaca sebab kematiannya? Aku tak bisa berjalan kemanapun, aku terpaku di tempatku. Seolah ada tangan yang menahan kakiku. Aku benar-benar takut kali ini. Terbayang wajah 2 rekanku yang sebelumnya mengurus surat kematian, dua-duanya berakhir tragis. Sakit parah. Ternyata hal seperti inilah yang mereka hadapi. Aku takut. Padahal bukan sekali dua kali aku melihat makhluk tak kasat mata, brankar bergerak sendiri, kursi roda berjalan sendiri, roh pasien exit yang mendahului raganya menuju kamar jenazah. Sangat sering, tapi kali ini lain. Rasa takut menjalar di seluruh tubuhku. Ketika makhluk berpakaian hitam muncul di hadapanku, aku bahkan tak mampu berteriak.
Aku mengetik dua surat keterangan kematian sebelum pulang. Sungguh aku masih takut, tapi entah kekuatan darimana yang mengantarkanku kembali ke ruangan ini dan duduk di depan komputer. Aku memang begitu, gak akan bisa tenang sebelum semua pekerjaanku selesai. Setelah selesai, aku mematikan komputerku. Aku harus pergi sekarang. Sudah sangat terlambat.
Pagi harinya, Dedi malas-malasan membuka ruangan. Bekerja pada hari sabtu adalah keputusan paling bodoh. Sayangnya, jadwal piket ini ditetapkan oleh kepala bidang, staff biasa seperti Dedi tak bisa berbuat apa-apa. Dedi memastikan jumlah surat yang mungkin akan diambil pemiliknya hari ini. Tiga surat keterangan kelahiran. Dan dua surat keterangan kematian. Dedi memutuskan menyeduh mi instan untuk sarapan pagi ini.
"Pak, mau mengambil surat kematian," seorang bapak masuk ke ruangan. Dedi mendengus kesal. Baru saja dia akan memakan suapan pertama. Dedi menanyakan nama pasien exit, dan menyerahkan surat keterangan kematian. Kemudian Dedi melanjutkan makannya. Sampai jam 12 siang, tidak ada lagi yang datang untuk mengambil surat. Dedi makin kesal. Jika dia pulang sekarang, kalau ada keluarga pasien yang datang, pasti mereka marah melihat ruangan ini tutup.
"Ded," Anggi muncul di hadapan Dedi.
"Anggi, kamu ngagetin aja. Aku yang piket Nggi, bukan kamu."
"Iya tau. Nanti jangan sampai gak dikasih ya Ded surat keterangan kematiannya. Harus sampai."
"Kamu kesini cuma mau kasi tau itu aja?"
"Iya, nanti kamu tinggal pulang."
"Nggaklah Nggio," dedi mengambil minuman, membelakangi Anggi, "aku ini jelek-jelek, tapi tanggung jawab nggi. Kami temenin a....." dedi terdiam, Anggi udah pergi. Kurang ajar si Anggi, cuma bilang itu aja. Gak mau nemenin piket. Dedi kesal pada Anggi yang meninggalkannya begitu saja.
"Sialan," katanya kasar, sambil mengambil surat keterangan kematian yang tersisa. Membacanya sekilas, dan Dedi pucat.
Security membuka paksa gudang penyimpanan status pasiem exit. Benar saja, Anggi terbujur kaku di sana. Dedi yang berdiri di depan pintu berteriak pilu. Sekali lagi dia membaca surat keterangan kematian yang dipegangnya.
Nama : Anggelia Permata, Amd.Keb
TTL : Pekanbaru, 19 Januari 1988
Pekerjaan : staff rsud
Tanggal Kematian : 19 November 2017
Penyebab Kematian : gagal jantung
Jam kematian : 16.45 wib
Lokasi Kematian : ruang penyimpanan berkas pasien exit
Dedi menangis membaca surat Keterangan kematian Anggi yang mungkin dia buat sendiri. Keterangan selanjutnya masih kosong, karena Anggi tidak tahu siapa dokter yang memastikan kematiannya. Dedi histeris, dan hilang kesadaran.
*selesai
Aku tenggelam di antara ribuan file. Mencocokkan nomor medical record nya. Baru bisa aku menemukan.
"Meninggal pasca sc," gumamku. Dan pintu ruangan terhempas. Aku merinding. Jantungku berpacu kencang. Kakiku lemas. Nafasku seperti berhenti. Apakah dia marah aku membaca sebab kematiannya? Aku tak bisa berjalan kemanapun, aku terpaku di tempatku. Seolah ada tangan yang menahan kakiku. Aku benar-benar takut kali ini. Terbayang wajah 2 rekanku yang sebelumnya mengurus surat kematian, dua-duanya berakhir tragis. Sakit parah. Ternyata hal seperti inilah yang mereka hadapi. Aku takut. Padahal bukan sekali dua kali aku melihat makhluk tak kasat mata, brankar bergerak sendiri, kursi roda berjalan sendiri, roh pasien exit yang mendahului raganya menuju kamar jenazah. Sangat sering, tapi kali ini lain. Rasa takut menjalar di seluruh tubuhku. Ketika makhluk berpakaian hitam muncul di hadapanku, aku bahkan tak mampu berteriak.
Aku mengetik dua surat keterangan kematian sebelum pulang. Sungguh aku masih takut, tapi entah kekuatan darimana yang mengantarkanku kembali ke ruangan ini dan duduk di depan komputer. Aku memang begitu, gak akan bisa tenang sebelum semua pekerjaanku selesai. Setelah selesai, aku mematikan komputerku. Aku harus pergi sekarang. Sudah sangat terlambat.
Pagi harinya, Dedi malas-malasan membuka ruangan. Bekerja pada hari sabtu adalah keputusan paling bodoh. Sayangnya, jadwal piket ini ditetapkan oleh kepala bidang, staff biasa seperti Dedi tak bisa berbuat apa-apa. Dedi memastikan jumlah surat yang mungkin akan diambil pemiliknya hari ini. Tiga surat keterangan kelahiran. Dan dua surat keterangan kematian. Dedi memutuskan menyeduh mi instan untuk sarapan pagi ini.
"Pak, mau mengambil surat kematian," seorang bapak masuk ke ruangan. Dedi mendengus kesal. Baru saja dia akan memakan suapan pertama. Dedi menanyakan nama pasien exit, dan menyerahkan surat keterangan kematian. Kemudian Dedi melanjutkan makannya. Sampai jam 12 siang, tidak ada lagi yang datang untuk mengambil surat. Dedi makin kesal. Jika dia pulang sekarang, kalau ada keluarga pasien yang datang, pasti mereka marah melihat ruangan ini tutup.
"Ded," Anggi muncul di hadapan Dedi.
"Anggi, kamu ngagetin aja. Aku yang piket Nggi, bukan kamu."
"Iya tau. Nanti jangan sampai gak dikasih ya Ded surat keterangan kematiannya. Harus sampai."
"Kamu kesini cuma mau kasi tau itu aja?"
"Iya, nanti kamu tinggal pulang."
"Nggaklah Nggio," dedi mengambil minuman, membelakangi Anggi, "aku ini jelek-jelek, tapi tanggung jawab nggi. Kami temenin a....." dedi terdiam, Anggi udah pergi. Kurang ajar si Anggi, cuma bilang itu aja. Gak mau nemenin piket. Dedi kesal pada Anggi yang meninggalkannya begitu saja.
"Sialan," katanya kasar, sambil mengambil surat keterangan kematian yang tersisa. Membacanya sekilas, dan Dedi pucat.
Security membuka paksa gudang penyimpanan status pasiem exit. Benar saja, Anggi terbujur kaku di sana. Dedi yang berdiri di depan pintu berteriak pilu. Sekali lagi dia membaca surat keterangan kematian yang dipegangnya.
Nama : Anggelia Permata, Amd.Keb
TTL : Pekanbaru, 19 Januari 1988
Pekerjaan : staff rsud
Tanggal Kematian : 19 November 2017
Penyebab Kematian : gagal jantung
Jam kematian : 16.45 wib
Lokasi Kematian : ruang penyimpanan berkas pasien exit
Dedi menangis membaca surat Keterangan kematian Anggi yang mungkin dia buat sendiri. Keterangan selanjutnya masih kosong, karena Anggi tidak tahu siapa dokter yang memastikan kematiannya. Dedi histeris, dan hilang kesadaran.
*selesai
Komentar
Posting Komentar