Langsung ke konten utama

PEREMPUAN BERNAMA RANI

Part 1
RISDA

Namaku Risda, ibu yang berbahagia. Anakku 2 orang sudah beranjak dewasa. Suamiku seorang petinggi di bumn, sedangkan aku, seorang guru sekolah dasar. Iya, aku bahagia. 10 tahun yang lalu. Sekarang entah kemana menguap semua kebahagiaan itu. Anak-anakku sudah semakin dewasa, suamiku masih seorang petinggi bumn, tapi aku sudah tidak menjadi guru lagi sejak 10 tahun yang lalu. Suamiku, Jaya, ingin aku menjadi full time mother, agar bisa mengurus rumah dengan tanganku sendiri. Kata Jaya, lebih baik rumah diurus oleh istri daripada art, tangan istri itu magic. Aku menuruti apa keinginan suamiku. Aku terlalu mencintainya. Tapi, semua berubah. Ketika Jaya mulai pulang jam 1 malam dan pergi kerja lagi habis subuh, ketika Jaya tidak pernah lagi memberikan uang selain gaji yang jumlahnya bahkan tak cukup untuk makan, ketika Jaya menjual satu demi satu aset yang susah payah kami kumpulkan selama 20 tahun kami menikah. Aku, seorang istri yang cinta pada suami, sungguh tidak menyangka suamiku selingkuh. Semua uangnya habis untuk selingkuhannya. Satu persatu teman-teman dekatku melaporkan kepadaku, melihat Jaya dengan perempuan lain, ciri fisiknya selalu sama. Aku gundah. Aku tak berani berbuat apa-apa, jika aku mencari informasi, aku takut hatiku makin sakit. Jangan harap bisa bertanya pada Jaya, sekarang kami pisah kamar, dia yang menginginkannya, dengan alasan dia gak tahan kamarku selalu dingin, ac 24 jam. 

Part 2
RISDA 

Dari penyelidikan teman-teman yang sayang padaku, perempuan itu bernama Rani. Seorang karyawan hotel yang letaknya bersebelahan dengan kantor Jaya. Duniaku hancur. Hatiku apalagi. Berkeping rasanya. Belum malu yang harus aku tanggung. Karena semua orang di kota ini sepertinya sudah tau. Jaya seolah bangga dengan Rani. Padahal secara fisik, Rani tidak ada seujung kuku pun dibanding aku. Apalagi kurangnya aku? Semua aku berikan, semua aku turuti. Aku tidak pernah melawan Jaya. Aku tidak pernah mengabaikan apapun permintaannya. Aku sangat terpukul ketika seorang kakakku melaporkan melihat Jaya dengan Rani sedang berbelanja tas di mall, Jaya seperti seorang pesuruh yang membawakan barang belanjaan Rani. Aku sedih, jika berbelanja denganku, Jaya tidak pernah mau membawa 1 pun barang belanjaan. Tapi aku sungguh tidak tahu harus melakukan apa. Jika aku menuntut cerai, anak-anak bagaimana, aku bagaimana. Aku tidak bekerja. Anak-anak mau aku kasih makan apa.

Part 3.
JAYA

Aku begitu tergila-gila dengan Rani. Wanita muda yang bekerja di hotel tempat tamu-tamuku sering menginap. Entah apa istimewa anak itu. Padahal dia seumur anakku yang paling besar. Walaupun dia memanggilku 'ayah', tapi setiap dia memanggilku begitu, naluri lelakiku bergejolak. Panggilan itu terdengar manja dan meminta lebih. Awalnya memang hanya ajakan sarapan atau makan siang, tapi lama kelamaan, Rani semakin manja, minta tas, handphone baru, sepatu. Semua sulit aku tolak. Dia benar-benar manja seperti anggora. Aku sulit menolaknya. Seperti kecanduanku akan ganja sewaktu muda dulu, kegilaanku akan kemanjaan Rani sulit aku bendung. Semakin dia manja, semakin aku ingin memberi dunia dan seisinya pada dia. Dia sangat berbeda dengan istriku Risda. Risda tidak pernah bermanja padaku. Dia bahkan mengganti bohlam yang mati sendirian. Katanya dia tidak ingin menyusahkan aku, dia bilang, aku sudah lelah bekerja, jadi urusan rumah dan seisinya adalah urusan dia. Risda-ku. Aku dulu bahagia bersamanya. Dia memanjakanku, menuruti apapun keinginanku. Mengiyakan semua permintaanku. Tapi aku lelah dimanjakan. Aku bosan. Aku ingin memanjakan. Dan Rani adalah perempuan yang tepat untuk itu.

Part 4
JAYA

Aku mengendap-ngendap menutupi wajahku dengan tas belanjaan Rani. Aku kepergok kakak iparku. Tapi entahlah, dia hanya melirik sekilas tanpa berkata apapun. Saat itu, Rani menggandeng tanganku dengan mesra, dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tahu, dia sedang merayuku untuk baju yang baru saja dia lihat. Saat itulah, aku kepergok kakak iparku. Pasti setelah ini Risda heboh. Menelpon bolak balik. Tapi aku tunggu berjam-jam Risda tidak juga menelpon. Apa aku salah lihat? Mungkin yang aku lihat tadi semacam halusinasi saja. Mungkin itu bukan kakak iparku. Ah, sudahlah, aku sedang berada di kamar Rani yang sedang memelukku erat. Aku mabuk kepayang. Risda tidak pernah sepanas ini di ranjang.

Part 5

Jam 1 malam, Jaya membuka pintu rumah dengan rasa lelah yang mendalam. Setelah seharian keliling mall menemani Rani belanja, sampai di rumah Rani, lagi-lagi Rani memberi kejutan hangat dan panas. Berkali-kali. Bahkan untuk berjalan pulang pun Jaya sulit tadi, seluruh tulangnya terasa copot. Menggigil tangannya membuka pintu kamar. Brengsek, Risda duduk dengan tenang di ranjang kamarnya. Apa maunya perempuan ini, geram hati Jaya, tidak taukah dia aku sangat capek.

"Ada apa kau disini?" Tanya Jaya dengan ketus.

"Aku memang tidak sehebat kamu Jay, tapi aku tidak bodoh. Aku tahu kamu selingkuh Jay. Lalu kamu ingin aku bagaimana sekarang?" Kata Risda dengan dingin. Jaya betul-betul muak. Capek dan ngantuk membuat dia benci dengan Risda.

"Kalau aku minta kau pergi dari rumahku, kau mau apa? Mau pergi? Jangan sombong kau Risda. Kau itu tidak ada seujung kuku pun dibanding Rani."

"Aku tidak menanyakan apapun pendapat kamu tentang aku Jay. Aku hanya bertanya, aku harus bagaimana sekarang? Jangan kamu melampiaskan rasa bersalahmu karena telah tidur dengan pelacur padaku."

Kepala Jaya mendidih mendengar kata-kata Risda, tangannya spontan mendarat keras di pipi Risda, "Kau jaga ucapanmu Risda. Rani bukan pelacur. Dia lebih baik segalanya dari kau. Aku ceraikan kau. Pergi kau dari rumahku. Kita bercerai."

Risda terdiam, tapi setitik air matapun tidak dikeluarkannya. Mungkin ini yang terbaik baginya.

Part 6
RISDA

Setelah kakakku memergoki Jaya dengan selingkuhannya, aku langsung berbicara dengan anak-anakku. Aku bertanya pada mereka, berdiskusi, aku harus bagaimana. Mereka sudah aku anggap dewasa untuk membahas masalah ini. Si kakak sudah kelas 3 sma, dan adiknya kelas 1 sma. Mereka menangis mendengar ceritaku, runtuh semua rasa bangga mereka dengan papanya. Aku menguatkan anak-anakku. Mereka bilang, aku harus tegas. Jangan takut mengambil keputusan apapun. Mereka akan ada untukku. Sekalipun hal paling buruk terjadi, mereka ikut aku. Merekalah sumber kekuatanku malam ini untuk berbicara dengan Jaya. Sakit dipipiku akibat tamparannya, tak sesakit perasaanku yang dikhianatinya. Aku keluar rumah, membawa semua baju dan perhiasan yang aku beli dengan uangku dulu waktu masih menjadi guru. Cukuplah untuk modal hidupku dengan kedua anakku. Biarlah aku menanggung malu kembali kerumah kedua orangtuaku. Aku tutup telingaku dari ejekan orang, seperti prajurit kalah perang. Biarlah, orang tau apa tentang lukaku, hidupku. Kepulanganku kembali ke rumah orang tuaku disambut dengan tangisan mereka. Mereka sudah tau semuanya dari kakakku. Mereka tidak menyalahkanku. Mereka pun tidak bertanya apapun padaku. Diam mereka menguatkanku. Aku memutuskan untuk tidak menggugat cerai Jaya. Untuk apa? Bahkan aku tidak ada keinginan untuk menikah lagi. Toh kami sudah tidak suami istri lagi dimata Tuhan. Jika dia ingin menggugatku karena ingin menikah dengan Rani, aku akan memudahkannya. Biarkan sajalah.

PART 7
RANI

Ayah, aku bisa apa tanpa ayah sekarang? Seisi dunia dapat aku beli dengan uangnya. Berbeda sekali dengan Bima, lelaki tampan yang hanya mau vagi**ku. Ingin enak, tapi gak punya banyak. Aku gak penting wajah, atau apapun, aku juga tidak perlu pria jantan perkasa di ranjang, aku sudah puas dengan semua itu. Sekarang aku hanya perlu uang. Sejak ayah sering membooking kamar untuk tamu, duniaku berubah. Cukup sedikit desahan manja, ayah bertekuk lutut di hadapanku. Padahal aku pernah melihat foto keluarga ayah di handphonenya, wajah istrinya jauh lebih cantik dari wajahku. Tapi sebagai perempuan yang berpengalaman dengan pria beristri, aku tahu apa yang diinginkan setiap lelaki dari wanita yang bukan istrinya, lelaki hanya ingin perempuan yang BERBEDA dengan perempuan yang dimilikinya di rumah. Dari wajahnya di foto, aku tau istri ayah ini perempuan kuat dan mandiri karena itulah aku harus bersikap manja untuk mengeruk uang ayah. Hahahhaa, bukan hanya sekali aku seperti ini. Dulu, waktu aku dekat dengan mas Imam, aku adalah perempuan tangguh dan tegar. Sebab aku tahu istri mas Imam sangat manja dan ketergantungan dengan suaminya. Aku bahkan lupa, sifat Rani yang sebenarnya bagaimana. Aku hanya ingat, Rani harus punya 1000 wajah, agar Rani tetap bisa menarik bagi banyak lelaki beristri. Entahlah, tapi aku memang senang pria berkeluarga. Melihat keluarga hancur secara perlahan, melihat istri mereka menangis dan terluka, melihat anak mereka bersedih, trauma dan rusak, aku puas. Iya, puas. Mungkin, beginilah perasan tante Irma saat dia merayu papaku dulu, hingga mama pecah berkeping dan aku pun runtuh tak tertangguh. Aku ingin, banyak keluarga yang merasakan jadi aku. Aku tidak ingin hancur sendiri. Masih terbayang jelas di kepalaku, tante Irma tertawa lepas sambil bergelayut di bahu papa, dan mama, tergantung di atap rumah, tanpa busana. Aku histeris, trauma, tapi sekarang, aku bahagia. Bahagia menjadi penghancur banyak rumah tangga.

PART 8
RISDA

Aku sibuk memastikan makanan yang tersedia cukup untuk 1000 undangan. Jika kurang, aku pun harus memastikan cadangan makanan cukup. Konsentrasiku pecah ketika anakku menelpon,

"Assalamualaikum kak." Jawabku.

"Mah, kakak lulus mah. Kakak sekarang udah jadi bidan." Anak sulungku. Aku menangis terharu. 3 tahun kakak kuliah untuk menjadi bidan, cita-citanya dari kecil. Penuh perjuangan dan air mata aku berusaha menyekolahkan anak-anakku. Sejak diusir Jaya, aku harus berdiri tegak di atas kakiku sendiri. Jatuh bangun aku mendirikan usaha catering ini. Dibantu anakku yang kedua, yang memang hobi memasak dan sekolah tata boga. Kami berdua bahu membahu meramu resep andalan catering kami. Anakku yang pertama, kuliah kebidanan. Dari orderan 100 porsi sampai sekarang kami mampu menangani bahkan untuk 2000 porsi sehari. Semua pasti ada hikmahnya. Luka yang ditorehkan Jaya masih membekas di hatiku, namun sudahlah, semua sudah berlalu 3 tahun yang lalu. aku tidak mau melelahkan hatiku dengan menyimpan dendam. Biarlah Jaya bahagia bersama Rani di sana, aku disini bersama anak-anakku pun bahagia.

Part 9
RANI

Sekarang aku bukan lagi Rani yang manja milik ayah. Aku adalah Rani yang bijaksana dan tidak banyak menuntut. Lupakan sejenak masalah tas dan handphone keluaran terbaru. Sejak bertemu papa, mas Galuh, aku menjelma menjadi wanita yang bijaksana. Aku berkenalan dengannya di hotel tempat aku bekerja, wajahnya kusut saat itu. Di belakangnya ada istrinya, wanita yang tak berhenti mengomel dan menuntut. Dari merk dompetnya aku tahu, mas Galuh bukan orang sembarangan. Sejak itulah aku masuk secara perlahan ke dalam hidupnya. Memanggilnya papa, berpura-pura mendengar ceritanya, berpura-pura bijak dan sekarang dia milikku. Juga uangnya. Ayah tidak ada apa-apanya dibanding papa, 3 kali lipat ayah harta yang dimiliki papa. Ayah hanya mengandalkan kartu kredit sekarang. Aku muak melihat kartu keras itu, aku ingin lembarang uang yang nyata. Ayah tidak lagi menarik. Istrinya sudah pergi, anaknya pun tak pernah kembali. Rumah? Ayah bahkan menumpang di rumahku. Lalu, untuk apa lagi aku bersamanya. Aku ingin papa saja sekarang. Menggeruk uangnya, menghancurkan keluarganya dan mencampakkannya.

Part 10
JAYA

Semakin lama aku makin muak dengan kemanjaan Rani. Setiap hari keinginannya semakin muluk. Aku sudah berusaha menuruti apapun yang dia inginkan. Sampai pekerjaanku terbengkalai. Jabatankupun melayang. Sekantor sudah tahu skandalku dengan Rani. Otomatis jabatanku pun turun menjadi staf biasa. Aku belum menikah dengan Rani, tapi kami selayaknya suami istri. Makin lama Rani makin mirip singa. Gaya hidupnya tidak bisa berubah. Seperti sosialita. Padahal hutangku sudah melilit leher. Rumahku pun sudah tergadai. Aku tidak punya apa-apa sekarang, kecuali kartu kredit. Rani yang manja tetap merongrongku untuk membeli ini dan itu. Aku rindu Risda-ku yang sekarang entah berada dimana. Risda yang mandiri, Risda yang kuat. Tak pernah bilang tak cukup berapapun nafkah yang aku berikan. Yang rela melepaskan pekerjaannya sebagai guru untuk memenuhi permintaanku. Risda, aku menyesal menceraikannya. Hidupku sekarang seperti neraka. Mungkin inilah dosa. Hidup tanpa menikah dengan Rani, seperti suami istri. Berapa banyak dosa yang sudah aku tabung. Malangnya seorang Jaya sekarang, gubuk derita pun aku tak punya. Siang ini, aku sungguh pusing, 3 kartu kredit jatuh tempo, sementara gaji habis untuk mencicil hutang di koperasi kantor. Aku pulang kerumah jam 2 siang. Aku ingin mati rasanya. Tapi mungkin Rani dapat memberi jalan keluar. Aku akan bercerita padanya, koleganya banyak, dia pasti bisa membantuku. Dan aku membatu ketika sampai di rumah melihat adegan dewasa antara Rani dan seorang laki-laki tua yang tampak kaya. Aku terdiam. Apakah aku berhak marah? Aku bukan suaminya, jadi seharusnya Rani bebas ingin bergumul dengan siapapun. Kehadiranku menyadarkan Rani dan pasangannya. Tak ada rasa bersalah di wajah Rani. Pasangan itu segera memakai pakaian, dan sang pria meninggalkan uang yang tak sedikit jumlahnya. Nafasku sesak.

"Pergilah kamu dari rumahku. Aku ingin memulai lembaran baru bersama pria tadi." Kata Rani. Aku seperti dejavu. Teringat kata-kata yang aku lontarkan pada Risda 3 tahun yang lalu. Betapa karma tidak buta. Aku tidak ingin banyak protes. Toh aku memang bukan suaminya. Aku pergi membawa pakaianku, persis seperti Risda yang pergi dari rumahku tanpa membawa harta apapun. Bahkan buku nikahnyapun masih ada padaku. Aku kangen Risdaku yang mandiri dan tegar.

Aku hidup seperti pengemis setelah dipecat secara tidak hormat dari bumn tempatku bekerja. Aku seharusnya bersyukur mereka hanya memecatku, tidak memenjarakanku akibat korupsi yang aku lakukan. Ratusan juta uang aku gelapkan demi melunasi hutang kartu kreditku. Sekarang aku seperti benalu, mengandalkan adik-adikku untuk memberiku makan. Aku tidak tahu harus mencari pekerjaan dimana. Umurku sudah 45 tahun, ditambah aku sakit-sakitan. Ini dosaku. Pasti akibat dosaku pada Risda. Tiba-tiba pagi badanku tak bisa digerakkan, adik bungsuku membawaku ke rumah sakit daerah, mengambil kelas bangsal, karena dia memang bukan berasal dari keluarga mampu, pekerjaannya ob di universitas negeri. Sukurlah dia masih mau perduli. Aku divonis stroke. Entahlah, aku mati rasa. Segala rasa sakit ini terkalahkan dengan penyesalanku pada Risda.

Part 11
RISDA

Aku melenggang melewati ruang rawat bangsal disini. Aku benci bau rumah sakit, tapi aku harus memastikan satu hal, makanya aku melawan bau rumah sakit ini. Ketika menemukan kaca, aku berhenti sejenak, mematut diriku, make up ku dan pakaianku. Aku tidak mau terlihat jelek. Aku ingin sempurna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Berdiri di hadapannya setelah 3 tahun lebih. Dia terdiam melihatku. Tidak ada Rani didekatnya. Entahlah, ada rasa puas yang menyelusup di hatiku melihat kondisinya saat ini. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi aku segera berlalu. Jangan terlalu lama, Risda. Cukup tahu dan lihat bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Aku tersenyum, karena Tuhan mengizinkanku melihat kebesaranNya dan keadilanNya.

Part 12
JAYA

Aku melihatnya lagi, semakin dewasa dan matang. Masih nampak mandiri dan kuat. Risda-ku. Dia berdiri anggun di hadapanku. Tapi, tubuhku yang bodoh ini kaku, membatu, tak bisa bergerak. Aku sangat ingin minta maaf, menceritakan semua penyesalanku. Bersujud di kakinya. Bukan karena aku miskin sekarang, tapi agar aku dapat menjalankan sisa hidupku dengan tenang, aku perlu ampunan Risda. Aku berusaha menggerakkan mulutku, tapi dia sudah beranjak pergi. Aku ingin menahannya, berteriak memanggilnya. Tapi hanyak 'ha' yang keluar dari mulutku. Risda sudah pergi, tanpa sempat memberi maaf padaku.

*PENUTUP
Sehari sebelumnya

"Mah tau gak, papah sakit loh mah."

"Papah mana?"

"Papah Jaya. Dia dirumah sakit tempat aku kerja Mah. Stroke. Dirawat di bangsal lagi. Kesian mah."

"Kamu datengin nggak Kak?"

"Yaiyalah mah, aku tanya sama om Hendri. Ternyata papah gak pernah nikah lagi mah. Dia miskin, dibuang sama selingkuhannya, dipecat dari kerjaan karena korupsi mah. Kasian ya mah. Apa kita rawat aja mah?"

"Nanti mamah pikir dulu kak."

*END

Komentar

  1. berat amat cerpennya nan T.T

    pusing bacanya kalo pas hari senin gini wkwkkwwk

    tapi penulisannya bagus, per part part gitu, ga terlalu panjang jadi masih mampu dibaca semuanya hahaha

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada blog baru ini jadi semangat buat posting. Maklum manusia purba , orang-orang udah basi tapi aku baru mulai, selalu begitu..... Jadi semalam pagi2 aku stress berat. idupin laptop gak bisa.. Padahal baru dicas sampe penuh P adahal laptop ku baru Tuhan apa yang terjadi? dengan nafsunya aku bawa laptop ke tukang serpis. sekalian komplen masa laptop baru udah rusak. sampe disana, abang yang nyerpis laptopnya cute dan kelihatannya masih sangat brondong. abang cute :"Kenapa laptopnya BUK?" ahhhh, aku ibuk2? aku : "gak mau idup bang, padahal baru di cas semalam jadi gak mungkin abis batere." Si abang cute langsung nyari cas laptop terus ngecas laptop ku. lima menit kemudian dia coba idupin dan LAPTOPNYA IDUP. IDUP!!! Langsung malu dan ingin mengubur diri. tapi tetap jaga wibawa di depan abang cute. aku : "cuma abis batere ya bang? oh, mungkin karena semalam kerja sampe pagi, jadi baterenya gak kuat." cuih cuih cuih, kerja? yang ada juga ketiduran sampai pa

MAMAK MAUNYA APA

Ini pertanyaan yang sedang mamak ajukan ke diri mamak sendiri, berkaitan dengan si kakak (halah). Rasanya, ilmu psikologi yang mamak pelajari selama 4.5 tahun sia-sia, karena anak sendiri pun gak bisa mamak kendalikan kelakuannya.  Jadi di rumah mamak, ada tetangga baru, rumah yang dulunya kosong, kini terisi kembali. Hati mamak gembira sekali, mana tetangga mamak ini bakul kue pulak. Ah, cocok kali rasa mamak kan. Tapiiiiiii.... si kakak, yang sangat antusias tetanggaan sama teman satu sekolah, euforianya keterlaluan. Buka mata pengen langsung main ke tetangga, dan jadi sering ngebentak-bentak kalo dibilang jangan pergi main. Yah, kan gimana ya, namanya juga orang, pengen tidur, istirahat, makan dan punya banyak waktu bersama keluarganya. Dan kalau si kakak main disitu berjam-jam, yang punya rumah pasti eneg, mau nyuruh pulang gak enak, mau dibiarin makin gak enak. Mamak udah ngasi ceramah sama si kakak, semua stok ceramah agama mamak udah mamak keluarkan. Tapi gak mempan

GAMBAR MAMAK

Semalam si kakak menggambar sesuatu di kertas bekas merk jaket. Dan pas udah selesai, taraaaaaaaa... Kata si kakak, "ini gambar bunda." Mamaknya sih ketawa, ngasi jempol. Dan si kakak mesem-mesem bangga dipuji mamaknya. Tapi sebenarnya dalam hati mamak bergejolak. Kenapa gambar mamak kaya gini, muka mamak dicoret-coret pulak. Maksudnya menggambarkan apa ini nak? Ditambah hidung mamak double gitu. Beserak-serak muka mamak yang ada dalam benak si kakak. Mungkin, ini teguran dari kakak dan Tuhan. Sebagai mamak, mamak masih berantakan dalam mendidik si kakak, gak bisa kasi contoh yang baik juga. Hobi ngomel dan marah-marah. Tiap dia mau ngomong disuruh diam. Sampai-sampai, si kakak tiap malam ngomong, "Bund, Pa, kakak haus." Mamak bapaknya yang flat ini ngomong, "minumlah kalau haus." "Kakak haus perhatian." Mamak sama bapak pandang-pandangan. Terus ketawa.  Padahal banyak makna pastinya dari kata-kata si kakak itu. Seja