Langsung ke konten utama

DIA (RY)

Aku terpekur menatap linimasa facebook Gilang, teman sebangkuku saat SMA. Melihat foto yang baru diposting Gilang, air mataku menetes. Dia sakit. Aku langsung mengambil sesuatu di atas lemariku. Diary usang. Tempat aku menyimpan segalanya. Segala rasa, yang pernah datang dan tak pernah pergi. 

Sebagai perempuan introvert, aku terbiasa mencurahkan semua rasaku dalam diary. Kebiasaan ini sudah aku lakukan dari sd. Semua diaryku masih tersimpan rapi di atas lemari, tak berkurang selembarpun. Sampai umurku 33 tahun, sudah ada 10 diary yang aku simpan. Sekarang, aku tak pernah menulis diary lagi. Semua sedihku, senangku, aku simpan dalam hati saja. Makin dewasa, makin mudah aku mengontrol perasaanku. 

Melihat postingan Gilang, ingatanku kembali ke masa lalu. Masa sebelum dia masuk ke hatiku, dan tak keluar lagi, hingga sekarang. 

7 Juni 1999

Dear diary, hari pertama sekolah selalu tidak menyenangkan. Sebenarnya semua hari tidak menyenangkan lagi sejak ayah meninggal. Aku benci harus ikut ospek. Aku sangat muak. Seperti orang bodoh. Berbaris di tengah panas, dan ketakutan melihat kakak senior yang bahkan belum aku kenal sebelumnya. Aku benci diary, sangat benci. 
Tapi ini wajib. Seperti sholat saja, aku benci kewajiban kayak gitu. Pokoknya aku benci masa sma diary. Aku gak punya teman. Aku benci kesepian. 

2 Juni 1999

Dear diary, hari ini aku melihat dia untuk pertama kalinya. Matang dan dewasa. Matanya seperti magnet. Aku suka sekali menatapnya. Apakah ini cinta di? Cintakah aku padanya? Diakah cinta pertamaku? Diary, aku pengen cepat-cepat pagi, supaya aku bisa melihat dia lagi. 

Sampai sini, mataku basah. Sampai detik inipun, hatiku masih padanya. Hanya dia. Aku menutup diaryku. Membacanya hanya makin membuatku tak bisa melupakannya. Rasa yang menetap lama dihatiku, bahkan tanpa dia tahu. 

Hapeku berbunyi, mungkin adikku. Aku membukanya. Ternyata video dari dia yang dikirim melalu wa. Dia. Sesakit apapun, dia tak pernah alfa mengirimiku video motivasi. Aku membuka video itu dengan hati tak menentu. Dia. Bahkan ucapan lebaran darinya saja membuat hatiku berbunga. 

Tentang dia. Pria dewasa dan matang. Bertutur lembut dan sopan. Selalu ibadah tepat waktu. Cerdas serta berwawasan luas. Tanpa cela. 3 tahun berkomunikasi tanpa alfa, tak pernah seharipun aku tak mendapat ilmu dari tegur sapa kami. Dia begitu sempurna bagiku. Sosok yang aku idamkan sebagai ayah dari anak-anakku. Aku membayangkan, bagaimana nanti anak-anakku akan belajar ngaji dengan ayahnya setiap habis sholat maghrib, sedangkan aku, menyiapkan makan malam untuk keluarga kecil kami. Itulah impian abadiku. Impian yang tetap akan menjadi mimpi, karena dia takkan pernah mampu kuraih. 

Seminggu berlalu, aku tak juga melihat postingan terbaru dari Gilang. Apa kabar dia? Sudah sehatkah? Hatiku ingin mengunjunginya ke rumah sakit, tapi otakku melarang. Apa yang akan aku katakan di depan keluarganya. 

Kesibukanku sebagai guru membuatku sedikit lupa tentang dia. Sedikit saja. Karena ketika malam datang, isi pikiranku lagi-lagi tentang dia. 

"Gimana bu Nisa? Jadi gak saya kenalkan sama keponakan saya. Dia guru juga loh Bu, sama kaya kita. Dia guru olahraga," obrolan yang sering terjadi di ruang guru. Semua rekan guruku seolah berlomba menjodohkanku dengan kenalan mereka yang seumur denganku. Bukan sekali dua kali aku mencoba membuka hati. Tapi lagi-lagi, dia menghilangkan semua rasaku pada pria. Bagiku, pria itu satu, dia. 14 tahun, dan rasaku tak pernah berubah. 

21 Juli 2000

Dear diary, aku bahagiaaaaaaaaaaa sekali. Dia ingat ulang tahunku. Dia memberiku kado kamus bahasa inggris. Kamus lengkap, sudah lama aku mengidamkan kamus ini. Ahhhhhhhhh, gimana aku bisa melupakan dia, jika dia masuk ke dalam hatiku terlalu dalam. 

Aku mengelus kamus bahasa inggris dari dia. Kado pertama yang aku dapat dari seorang pria. Aku jaga kamus ini sepenuh hati. Dia, masih selalu tentang dia. Dari 1 sma, hingga umurku 33, hanya dia. 

"Sa, anak om Bima, kawan kerja almahrum ayah ingin sekali menikah dengan kamu," ibu membuka obrolan malam ini. Selera makanku langsung kandas. Tapi, jika aku meninggalkan meja makan ini, pasti Dian, istri adikku merasa tak enak hati. Dia baru sebulan menjadi anggota keluarga kami. Ini tema sensitif buatku. Apalagi sejak adikku menikah, ibu semakin gencar mencarikan calon suami untukku. Ibu, bisakah aku meminta dia saja yang menjadi suamiku?

"Anak om bima yang mana bu?" Tanya adikku. Adikku, Adam, mengetahui aku mencintai seseorang, tapi Adam tidak tahu pada siapa hatiku telah aku tinggalkan. 

"Itu Dam, Bayu," jawab ibu dengan antusias. 

"Masya Allah, bang Bayu bu? Dia kan sama-sama ngajar di kampus Adam. Kenapa gak pernah bilang sama adam," pikiranku langsung terkait dengan Bayu. Aku kenal dengannya dari kecil. Ayahku dan ayahnya sahabat dekat. Bagaimana bisa Bayu menyukaiku? Pasti dia pun terpaksa, aku tertawa dalam hati. Aku tau Bayu luar dalam, termasuk tentang Mawar, kekasihnya. Dah syukurlah, pembahasan Bayu selesai. Aku akan menelponnya setelah makan. Mentertawakan perjodohan ini. 

Aku tak mampu menahan rasa ingin tahuku. Dua minggu tak ada kabar terbaru di sosial media Gilang. Aku takut, dia kenapa-kenapa. Aku nekat, aku mengirimkan pesan ke fb Gilang.

'Assalamualaikum Gilang, apa kabar?' Begitu tulisku. Sampai malam, belum juga dibaca oleh Gilang. Aku tetap menunggu. Teringat percakapanku dengan Via, temanku sejak smp beberapa tahun yang lalu, hanya Via satu-satunya manusia yang tahu semua tentang dia.

"Kenapa kamu gak ngungkapin aja perasaan kamu Sa. Yahhhh, sekedar ngeliat respon dia aja gimana. Siapa tau dia juga suka kamu Sa," kata Via kala itu.

"Kamu gila , Vi. Itu mustahil, hahahaha." Kami sama-sama tertawa. Via mengerti mengapa aku menyukai dia. Yang Via gak faham, kenapa aku gak bilang sama dia. Bagiku, cinta bukan untuk dikatakan, bukan untuk dimiliki, cinta hanya untuk dirasakan.

'Alhamdulillah Sa. Aku sehat, bapak yang sakit Sa. Di RSUD camar 551.' Gilang membalas pesanku. Dadaku bergemuruh. Semesta seperti merestui aku bertemu dengan dia kali ini.

Sudah 30 menit aku berdiri di depan pintu ruang camar 551, tanpa berani mengetuk atau mengucap salam. Aku takut. Takut rasaku semakin dalam jika aku bertemu dengan dia lagi. 14 tahun berlalu, cintaku tak pudar sedikitpun, namun jika ia harus bertambah kuat, mungkin aku takkan mampu lagi menahannya.

"Nisa, ngapain bengong, masuk," Gilang menarik tanganku. Aku tidak sadar dia membuka pintu, sakingkan dalamnya lamunanku. Aku mengikutinya.

"Buk, ni Nisa, teman sebangku selama 3 tahun di sma," Gilang memperkenalkanku dengan ibunya. Aku menyalami wanita yang tampak baik itu. Dan wanita paling beruntung, karena telah memiliki dia utuh. "Pak, Nisa Pak. Murid kesayanganmu." Hatiku berdegup kencang. Setelah 14 tahun, aku bisa melihat dia lagi. Matanya masih seperti magnet. Aku menyalaminya dengan tangan yang membeku.

"Maaf Pak, Nisa baru sempat jenguk," kataku, suaraku seperti orang tercekik.

"Gak papa Nak. Nisa sehat?" Tanyanya. Masih dengan nada kebapakan yang membuatku tergila-gila. Aku hanya mengangguk. Dia tersenyum padaku. Dia menyentuh tanganku. Sentuhan seorang ayah yang selalu kumaknai sebagai sentuhan seorang lelaki. Dia. Dialah alasanku ingin menjadi guru bahasa inggris, agar aku bisa seprofesi dengannya, bisa banyak bertanya dengannya, bisa tetap ada alasan untuk menelponnya. Dia. Dialah yang membuatku tak bisa membuka hati untuk lelaki manapun lagi, karena dia masuk ke hatiku terlalu dalam dan tak mau pergi lagi. Cinta yang tak tersampaikan selalu terasa lebih dalam dan lebih kokoh. 14 tahun berlalu, dan matanya masih seperti magnet, senyumnya masih memikat dengan kuat. Dialah pak Haris, bapak Gilang, guru bahasa inggris kami di sma.

Sejak hari itu, aku malah makin dekat dengan Gilang. Keakraban teman lama, yang berubah menjadi teman dekat. Aku merasa seperti orang gila, ketika datang ke rumahnya, bertemu dengan adik-adiknya, tapi hatiku malah ingin bercengkrama dengan bapaknya. 

Ibuku adalah orang yang paling bahagia ketika aku membawa Gilang pertama kali ke rumah. Matanya langsung berbinar, mengeluarkan seluruh stok makanan di rumah. Gilang tersenyum menyaksikan ibuku. Mungkin, ibu berharap banyak dari hubunganku dan Gilang. 

Malam ini, aku dan Gilang duduk berdua di teras rumahku. Ibu, adikku dan Dian sedang pergi. Inilah pertama kalinya kami ngobrol berdua, dari hati ke hati. Karena biasanya, hubungan kami hanya seperti air, mengalir saja tanpa arah. Mungkin, Gilang ingin kepastian. 

"Kamu, kenapa belum menikah Sa?'" Dia membuka percakapan kami. 

"Aku, mencintai orang yang salah Lang." Jawabku. Entah mengapa, aku tak ingin berbohong pada Gilang. 

"Maksudnya?"

"Aku menyukai laki-laki yang sudah beristri."

"Oh, i see. Sampai sekarang?"

"Ya."

"Bahkan setelah aku datang?"

"Iya."

"Kalau begitu, will you marry me?"

Aku terhenyak, why? Gilang menatapku dalam. Tatapan bapak ada di dalam matanya. Sejenak aku tenggelam. "Why me Lang?"

"Karena aku yakin Sa, kamu tak akan menuntut banyak dariku. Aku tidak akan menyuruhmu berhenti mencintai lelaki itu, tapi jangan suruh aku berhenti memikirkan Nazda."

"Nazda?"

"3 tahun lalu kami akan menikah Sa, dan dia pergi saat hari H tinggal seminggu lagi. Aku sangat mencintai dia Sa. Menikahlah denganku. Mari kita membangun rumah tangga yang tanpa ada tuntutan di dalamnya. Kita hidup sebagai partner, teman baik, selamanya."

"Dia pergi kemana?" 

"Dia meninggal Sa. Dia sakit. Gerd. Saat kami akan menikah, sangat banyak masalah Sa, mungkin terlalu banyak yang dipikirkannya, gerd nya kambuh, dan dia tak pernah sembuh."

"Aku gak bisa menjanjikan apa-apa Lang. Jujur, 17 tahun ini aku memendam rasa yang sama pada 1orang. Aku gak bisa janji bisa bikin kamu bahagia, aku juga gak sempurna, aku gak janji bakal jadi istri soleha buat kamu, tapi jika kamu benar menawarkan rumah tangga seperti itu, aku mau Lang."

Seminggu sebelum pernikahan, aku dipanggil ke rumah dia. Bergetar duniaku rasanya,saat aku tahu, dia ingin berbicara denganku, berdua. 

"Masuk Nak." Dia membuka pintu. Aku spontan mengambil tangannya, menyalaminya. Agak lama, sudah lama aku mengkhayal tangan inilah yang akan aku genggam setiap habis sholat. "Duduk Sa. Maaf ya Nak, apakah bapak mengganggu waktu kamu?" Meleleh aku. Dia terlalu sopan. Bahkan padaku, calon menantunya, dia bersikap sangat baik. 

"Gak Pak. Bapak kenapa manggil Nisa kesini? Kangen?" Entahlah, mulutku ini gak bisa dikontrol. Dia terkekeh pelan mendengar ucapanku. 

"Kamu sudah dewasa Nak, sudah akan menjadi menantu bapak. Rasanya baru kemarin bapak kenal kamu. Nak, bapak senang kamu yang akan menjadi istri Gilang. Passion kalian sama, sama-sama senang mengajar. Pastilah akan lahir nanti generasi cerdas dari keluarga kalian." Aku hanya diam, menunduk dalam. "Nak, Gilang itu anak baik. Tapi dia tak sempurna. Terimalah jika dia sedikit manja nanti Nak. Mungkin dia juga agak memilih dalam makanan, dia hanya terbiasa makan masakan buatan ibunya, kamu biasakanlah lidahnya menerima rasa masakanmu Nak." Menetes air mataku mendengar setiap tuturnya. Aku hanya mengangguk. Lidahku tak sanggup berkata apapun. 

"Bapak doakan pernikahan kalian berbahagia Nak." Dia memelukku. Pelukan seorang ayah. Tubuhku bergetar. Hatiku berada di luar kendali. Mulutku pun berbunyi tanpa izin dari otakku.

"Terimakasih pak. Telah menjadi guru dalam seluruh aspek hidup saya. Termasuk terimakasih, telah mengajarkan mengenal cinta pada saya Pak. Bapak cinta pertama dan terakhir saya pak. Cinta saya kepada bapak, bukan seperti cinta bapak kepada saya. Saya menyukai bapak seperti perempuan dewasa menyukai laki-laki dewasa." Dia melepas pelukannya. Tersenyum. Teduh wajahnya.

"Pulanglah Nak. Istirahatlah. Agar kamu tidak mudah sakit."

"Pak, maaf, saya...."

"Nak, bapak sudah tua, sudah banyak makan asam garam kehidupan. Kamu itu seperti kaca bagi bapak. Kamu tak perlu menjelaskan tentang isi hati kamu pada bapak. Perasaan kamu pada bapak, seperti perasaan anak kecil yang ingin makan permen. Pulanglah. Bapak restui kamu jadi istri Gilang."

Gilang mengucapkan ijab kabul dengan lancar. Gilang resmi menjadi suamiku. Aku menatap dia. Dia tersenyum. Aku pun tersenyum padanya. Untuk pertama kalinya hatiku merasa nyaman melihat dia. Gilang tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya. Sekali lagi aku menatap dia. Dia bangkit dari duduknya, menuju ke arah kami. Dia mencium pipiku dan mengelus kepalaku, "selamat ya Nak, marahin Gilang kalau nakal." Aku memeluknya. Memeluknya seperti seorang anak yang rindu pelukan bapaknya.

*END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada blog baru ini jadi semangat buat posting. Maklum manusia purba , orang-orang udah basi tapi aku baru mulai, selalu begitu..... Jadi semalam pagi2 aku stress berat. idupin laptop gak bisa.. Padahal baru dicas sampe penuh P adahal laptop ku baru Tuhan apa yang terjadi? dengan nafsunya aku bawa laptop ke tukang serpis. sekalian komplen masa laptop baru udah rusak. sampe disana, abang yang nyerpis laptopnya cute dan kelihatannya masih sangat brondong. abang cute :"Kenapa laptopnya BUK?" ahhhh, aku ibuk2? aku : "gak mau idup bang, padahal baru di cas semalam jadi gak mungkin abis batere." Si abang cute langsung nyari cas laptop terus ngecas laptop ku. lima menit kemudian dia coba idupin dan LAPTOPNYA IDUP. IDUP!!! Langsung malu dan ingin mengubur diri. tapi tetap jaga wibawa di depan abang cute. aku : "cuma abis batere ya bang? oh, mungkin karena semalam kerja sampe pagi, jadi baterenya gak kuat." cuih cuih cuih, kerja? yang ada juga ketiduran sampai pa

MAMAK MAUNYA APA

Ini pertanyaan yang sedang mamak ajukan ke diri mamak sendiri, berkaitan dengan si kakak (halah). Rasanya, ilmu psikologi yang mamak pelajari selama 4.5 tahun sia-sia, karena anak sendiri pun gak bisa mamak kendalikan kelakuannya.  Jadi di rumah mamak, ada tetangga baru, rumah yang dulunya kosong, kini terisi kembali. Hati mamak gembira sekali, mana tetangga mamak ini bakul kue pulak. Ah, cocok kali rasa mamak kan. Tapiiiiiii.... si kakak, yang sangat antusias tetanggaan sama teman satu sekolah, euforianya keterlaluan. Buka mata pengen langsung main ke tetangga, dan jadi sering ngebentak-bentak kalo dibilang jangan pergi main. Yah, kan gimana ya, namanya juga orang, pengen tidur, istirahat, makan dan punya banyak waktu bersama keluarganya. Dan kalau si kakak main disitu berjam-jam, yang punya rumah pasti eneg, mau nyuruh pulang gak enak, mau dibiarin makin gak enak. Mamak udah ngasi ceramah sama si kakak, semua stok ceramah agama mamak udah mamak keluarkan. Tapi gak mempan

GAMBAR MAMAK

Semalam si kakak menggambar sesuatu di kertas bekas merk jaket. Dan pas udah selesai, taraaaaaaaa... Kata si kakak, "ini gambar bunda." Mamaknya sih ketawa, ngasi jempol. Dan si kakak mesem-mesem bangga dipuji mamaknya. Tapi sebenarnya dalam hati mamak bergejolak. Kenapa gambar mamak kaya gini, muka mamak dicoret-coret pulak. Maksudnya menggambarkan apa ini nak? Ditambah hidung mamak double gitu. Beserak-serak muka mamak yang ada dalam benak si kakak. Mungkin, ini teguran dari kakak dan Tuhan. Sebagai mamak, mamak masih berantakan dalam mendidik si kakak, gak bisa kasi contoh yang baik juga. Hobi ngomel dan marah-marah. Tiap dia mau ngomong disuruh diam. Sampai-sampai, si kakak tiap malam ngomong, "Bund, Pa, kakak haus." Mamak bapaknya yang flat ini ngomong, "minumlah kalau haus." "Kakak haus perhatian." Mamak sama bapak pandang-pandangan. Terus ketawa.  Padahal banyak makna pastinya dari kata-kata si kakak itu. Seja