Dulu aku suka hujan. Sangat suka. Karena setiap hujan, bakso dagangan Bapak laku keras. Aku masih ingat saat masih sd, aku bersepeda mengantarkan bakso tambahan ke tempat bapak mangkal dengan riang. Terbayang upah yang akan aku dapatkan setelah itu. Aku bisa membeli apapun yang aku inginkan. Sehari sebelum ulang tahunku, aku selalu berdoa hujan turun. Tidak perlu deras. Karena kalau deras, malah tidak ada yang beli.
Bapakku adalah pedagang bakso senior di kota ini. Bapak seorang transmigran dari Jawa ke Sumatera. Bapak terdampar di Riau. Dapat tanah satu hektar di pelosok daerah. Mungkin, karena passion bapak bukan berkebun atau bertani, dia jual tanahnya dan pindah ke kota, Pekanbaru. Di Pekanbaru bapak ketemu emak, dan mereka menikah. Awalnya, bapak dan emak bingung untuk menjalani hidup, karena mereka sama-sama tidak bekerja, kemudian muncullah ide bapak jualan bakso. Sejak saat itu hingga sekarang bapak konsisten dengan profesinya.
Beranjak remaja, aku mulai kenal dengan yang namanya gengsi. Hujan tidak lagi menggairahkanku. aku berhenti mengirimkan bakso tambahan untuk dagangan bapak, maka emaklah yang tertatih menggantikan tugasku. Entahlah, aku agak kecewa dengan kedua orang tuaku. Kenapa nasib mereka seperti ini. Setiap teman sesama transmigran bapak main kerumah, semuanya sudah kaya, pakai mobil, bajunya bagus, tubuhnya penuh perhiasan. Sementara emak dan bapak sangat sederhana. Hanya punya motor butut untuk bapak belanja setiap subuh. Emakpun sama, sebuah perhiasan pun tidak ada yang menempel di tubuhnya. Lihatlah rumah kami, layak ditinggali memang, tapi jauh dari kesan modern dan mewah. Aku menyesali keputusan bapak menjual tanah jatah transmigrasinya. Seandainya bapak masih bertahan, aku mungkin sudah sekolah di sekolah internasional, tidak kepanasan setiap hari turun naik angkot.
Penyesalanku yang kedua, saat melihat teman-teman bapak sesama penjual bakso. Kehidupan mereka jauh lebih baik dari bapak. Anak mereka minimal pake motor kesekolah. Ada apa dengan bapak? Kenapa bapak tidak bisa berusaha lebih keras lagi. Aku kan ingin kaya. Merasakan jadi anak orang kaya. Aku tidak malu dengan profesi bapak sebagai tukang bakso. Aku hanya malu dengan kesederhanaan hidup kami.
Dan penyesalanku yang terakhir, kenapa namaku harus Sukinah. Aku bukan mengejek nama itu, bukan. Namanya bagus, tapi orang-orang disekelilingku, pasti tersenyum setiap kali mendengar namaku disebutkan. Kata emak, bapak ingin menunjukkan identitasnya sebagai orang Jawa. Entahlah, aku tidak mengerti dengan pikiran bapak. Apalagi emak, kenapa emak tidak pernah protes dengan hidup kami. Seharusnya sesekali emak menuntut bapak, agak bapak termotivasi untuk bekerja lebih keras. Seharusnya begitu. Karena Dian, sahabatku di sekolah bilang, mamahnya selalu menuntut tiap bulan harus dibelikan perhiasan emas sekian gram, sekali enam bulan ganti gadget, jadi papahnya semangat nyari uang. Terbukti, hidup Dian sangat enak. Dia gak pernah mikir kalau harus jajan di kantin, kesekolah diantar jemput mobil. Aku ingin emak begitu.
“Mak, udah tujuh belas tahun bapak jadi tukang bakso, masa emak gak pernah dibeliin perhiasan.” Kataku pada emak. Emak yang sibuk merebus bakso hanya tersenyum.
“Untuk apa emas Nah, kalau kita jadi merasa ndak aman di rumah. Kau kan tau, lemari baju kita ndak ada kuncinya.” Jawab emak.
“Kalo udah beli perhiasan emas, bapak juga harus beli lemari sekalian Mak.” Tambahku. Aku ingin emak membuka wawasannya, jangan mau ditipu bapak seumur hidup. Aku yakin, untung jualan bakso itu tidak sedikit.
“Ah, sudahlah Nah, kenapa pula itu yang kau permasalahkan. Bapak sudah kerja keras selama ini, kau bisa makan cukup, sekolah baik, tak pernah kurang uang, semua karena bapakkan. Kalau tak ada bapak, kita kelaparan Nah.” Ah, emak, sederhana sekali pikirannya. Hidup tidak hanya untuk makan. Apa emak tidak ingin ke salon, belanja ke mall. Tidak seperti sekarang, beli baju hanya untuk lebaran saja. Aku tidak ingin meneruskan percakapan dengan emak. Sia-sia saja.
Hujan turun. Emak menambah kecepatan kerjanya. Pasti setelah ini emak berjalan kaki ke tempat bapak mangkal. Aku tatap wajah emak yang sudah menua. Muncul setitik rasa iba di hatiku. Biarlah kali ini aku yang mengantarkan bakso tambahan untuk bapak. Tidak jauh, hanya satu kilo dari rumah.
“Mak, Inah aja yang antar bakso bapak.” Kataku.
“Kau tidak malu Nah?” Tanya emak tanpa tedeng aling-aling. Berarti selama ini emak tahu aku malu mengantarkan baso tambahan ke tempat bapak mangkal. Sudahlah, aku membuang rasa bersalah di hatiku, kan memang itu kenyataannya.
“Ndak Mak. Mana baksonya, sini.” Aku meraih panci berisi bakso yang sudah dibungkus plastik. Aku mengambil payung untuk melawan derasnya hujan. Berat juga pancinya, terakhir aku melakukan ini saat berumur dua belas tahun. Sekarang aku sudah tujuhbelas tahun. Terbayang bapak yang setiap hari membawa gerobak menempuh jarak yang sama. Aku saja kelelahan, apalagi bapak yang sudah mulai tua.
Setibanya aku di warung bapak, aku melihat bapak tampak kerepotan melayani pembeli. Bapak memang tidak punya pegawai untuk membantunya. Penghematan menurut bapak. Aku tahu, dalam hatinya bapak berharap aku yang akan membantunya setiap hari. Tapi itulah, aku gengsi. Kalau warung bakso bapak besar dan sudah mapan, seperti pecel lele lela atau bakso kepala sapi, aku pasti mau. Tapi bapak masih menempati ruang 3 x3 ini. Jujur, aku agak malu.
“Pak, ini bakso.” Aku menyodorkan panci berisi bakso pada bapak.
“Tumben Nah, emakmu mana Nduk?” bapak meraih panci dan sibuk menuangkannya ke kuah bakso.
“Di rumah pak. Ya udah, Inah pulang Pak.” Aku buru-buru pergi. Sebenarnya hatiku agak sedih melihat bapak sibuk sendiri, tapi perasaan itu aku tepis.
“Inaaaahhhh,” sebuah suara berteriak memanggilku. Jantungku pun rasanya lepas. Angga. Angga pasti. Aku hafal suara itu. Kenapa harus ketemu disini? Aku membalikkan badan, benerkan, si Angga. Dia sedang makan bakso dengan teman-temannya. Aku tersenyum getir. Aku harus gimana ini, maju atau mundur. Maju malu, mundur gak mungkin. Terpaksa aku melangkah mendekati Angga.
“Hai,” aku menyapanya. Pasti senyumku pahit saat ini. Aku hancur di depan Angga. Cowok idamanku. Apa katanya kalo dia tau aku anak bapak.
“Ngapain di sini Nah?” teman-teman Angga mengulum senyum mendengar namaku. Aku menghela nafas, sudah biasa.
“Iya Ngga, ini warung bakso bapakku.” Terlanjur basah, ya sudahlah. Aku jujur saja.
“Wah, aku langganan disini Nah. Bisa gratis ya kali ini.” Angga terkekeh. Aku tersenyum. Kemudian aku pamit pulang dengan alasan mau membantu emak merebus bakso.
Aku duduk di kelas dengan tenang. Menyalin tugas dari Dian. Aku lupa mengerjakan peer semalam, sakingkan sibuknya berfikir, harus bagaimana reaksiku nanti saat bertemu Angga di sekolah.
“Inahhh,” panjang umur si Angga, melintas sebentar di pikiranku, orangnya langsung muncul. Aku dan Angga sekelas. Jadi memang sulit menghindari pertemuan dengannya. “Nah, bapak kamu baik banget Nah. Semalam aku makan gratis. Padahal kami makan berlima. Bangkrut bapakmu kalo aku keseringan makan disana. Bilangin bapak kamu ya Nah, makasih banget.” Angga nyengir. Aku senyum kecut. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Kami memang tidak dekat. Jadi Angga pasti menganggap diamku sebagai hal yang biasa.
Dian duduk di sebelahku, dia baru saja dari kantin, sarapan kedua pastinya. Sarapan di rumahnya cuma roti, menurutnya, itu gak cukup untuk memenuhi kebutuhan lambungnya yang akan mentransfer energi ke otak, mata, telinga dan mulutnya saat belajar. Aku mengembalikan buku Dian. Lima menit lagi pelajaran dimulai. Sebenarnya aku ingin cerita tentang si Angga semalam, tapi nanti Dian fikir aku naksir Angga. Jujur saja, aku agak minder dengan keadaan orang tuaku, makanya aku jadi seorang introvert.
“Nah, kenapa bengong?” Dian menyenggol bahuku. Aku terkejut sampai melompat dari kursi. Reaksi yang berlebihan saat itu, karena aku menyadari dia ada di sampingku, kecuali dia muncul tiba-tiba seperti hantu, wajar aku kaget. “Halah Nah, lebay banget. Sampe lompat dari kursi, aku ngomongnya biasa aja kok. Eh Nah, tadi aku ketemu Angga di kantin. Ternyata dia keren banget Nah…..” dan entahlah si Dian ngomong apalagi. Aku mendadak tuli akan ocehannya.
Jam istirahat seperti biasa aku tetap duduk di kelas. No budget ke kantin. Biasanya Dian sering traktir aku, tapi tadi aku sempat melihat dia ke kantin sama Angga, maka aku pasti tereliminasi dari pikirannya. Biarlah, wajar saja anak orang kaya berteman dengan anak orang kaya. Aku makin terpuruk dalam rasa minder yang tak berujung ini. Tak lama, Dian tampak berlari kembali ke kelas. Tumben, istirahat belum lima menit, udah balik lagi dia.
“Nah, ampun Nah, kirain si Angga tadi ngajakin ke kantin karena mau pdkt sama aku. Ternyata dia tanyain kamu.” Dian tertawa keras, “Untung aku belum sempat jatuh cinta Nah. Wah, si Angga kayanya naksir kamu Nah. Terima aja. Papahnya tajir tuh.”
“Gak mungkin Di,” kataku dengan pesimis, “Mana mungkin golongan high class gitu naksir aku, anak seorang tukang bakso.”
“Kamu apa-apaan sih Nah. Selalu ngomong, anak tukang bakso. Gak boleh gitu Nah. Semua kerjaan itu baik. Bapak kamu kan kerja keras Nah. Kenapa kamu selalu minder?” Dian bertanya serius padaku.
“Kamu gak ngerasain apa yang aku rasain Di. Getir rasanya karena tahu teman-teman kita bapaknya pegang pena dapat duit, bapakku dari pagi sampe sore dagang bakso, pegang mangkok, hasilnya gini-gini aja. Aku pengen kaya kamu Di, banyak uang, gonta ganti hape, gak minder ma cowok.” Untuk pertama kalinya aku bicara jujur dengan Dian.
“Nah, garis tangan orang kan masing-masing. Mungkin memang beginilah jalan hidup kita Nah. Udahlah, jangan ngebanding-bandingin hidup kita dengan orang. Belum tentu kamu bahagia jadi aku.” Dian menghela nafas, “Kadang aku pun muak dengan banyaknya uang yang aku miliki Nah. Kamu tahu uang itu rasanya malah jadi malapetaka. Aku ingin seperti keluargamu Nah. Damai, tentram.” Dian menatapku lekat.
“Maksudmu Di? Kenapa kamu mau seperti aku?” aku benar-benar tidak mengerti.
“Pernah gak Nah, bapakmu pulang jam satu malam dalam keadaan mabuk, marah-marah pada emakmu, banting barang dan menyebut emakmu tidak berguna?” aku menggeleng pelan, “Papahku sering begitu Nah. Pernah gak, emakmu habis-habisan mengamuk dengan bapakmu, karena bapakmu tidak punya cukup uang untuk membelikan perhiasan?” sekali lagi aku menggeleng, “Setiap bulan aku menyaksikan pemandangan itu Nah. Aku muak dengan tuntutan mamah yang berlebihan pada papah, dan aku juga benci pada papah yang gak bisa bersikap tegas pada mamah. Harusnya mamah lebih mentoleransi papah. Sudah kerja keras. Wajar kalo papah melarikan diri pada alcohol, agar dia lupa ada monster matralistis yang sedang menunggunya di rumah.” Aku terhenyak. Jadi begini, potret keluarga kaya raya itu. Temanku yang selalu menjadi tolak ukur saat menyudutkan kehidupan bapak dan emak, ternyata menyimpan bara dalam hatinya. Dan dalam rumahnya. Aku tidak ingin keluargaku menjadi seperti keluarga Dian. Untuk pertama kalinya aku bersukur dilahirkan oleh emak yang senantiasa bersukur atas setiap rejeki yang diberikan. Aku dan Dian tenggelam dalam lamunan masing-masing. Sebuah pertanyaan bertengger di otakku. Kenapa Dian bisa bertahan. Seharusnya, dari dulu aku lebih care dengan Dian. Lebih sering ngobrol, curhat. Label hubungan kami adalah sahabat, tapi sahabat yang sangat dangkal.
“Di, kamu gak pernah ngomong sama mamah kamu, kalau apa yang dia lakukan itu berakibat buruk bagi keluarga kalian?” aku tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Udah ribuan kali Nah. Tapi mamah itu kepala batu, dia gak pernah mau mendengar masukan dari siapapun. Aku sedih Nah, sedih ngeliat papah yang udah berdarah-darah memenuhi tuntutan mamah. Kamu tau kan Nah, papah itu pejabat pemerintahan, apa gak jadi sorotan kpk kalo harta kekayaannya melimpah seperti sekarang. Gak sesuai Nah dengan pendapatannya.” Jawab Dian. Aku mengerti sekarang. Aku mengerti perasaan Dian yang terdalam. Selama ini aku hanya melihatnya sebagai cewek yang senang hura-hura. Sering belanja, makan enak, Dian selalu menghabiskan uangnya setiap hari untuk senang-senang. Mungkin itu hanya pelarian dari hatinya yang gak bahagia.
“Inah, ntar pulang bareng ya.” Tiba-tiba Angga sudah berdiri di sampingku. Aku menatapnya. Dan aku sadar, aku sudah tidak menginginkan kedekatan lagi dengannya. Bukan, bukan karena aku minder sebagai anak bapak, tapi aku memang tidak ingin saja. Rasaku sedang hanyut, terbawa oleh Dian. Terlalu dalam aku menghayati ceritanya tadi.
“Lain kali aja ya Ngga. Aku mau pulang sama Dian.” Dian kaget mendengar jawabanku, aku tersenyum padanya, “Aku mau ajak kamu makan bakso bapak Di. Kan selama ini kamu selalu ingin makan bakso bapak, tapi aku gak pernah mau.”
Angga hanya tertawa, “Lain kali aku tagih janjimu Nah.”
Bapak terlihat sangat bahagia melihat kedatanganku siang ini di warungnya, apalagi aku membawa teman. Aku membuatkan sendiri bakso yang akan aku hidangkan untuk Dian. Bapak terharu, setitik air mata mengalir di pipi tuanya.
“Nduk, kamu tidak malu lagi mengajak temanmu makan di sini?” Tanya bapak padaku.
Aku tersenyum manis, “Gak Pak, maafin Inah selama ini ya Pak, udah bersikap tidak sopan terhadap Bapak. Inah janji, mulai sekarang Inah akan bantu Bapak di warung.” Bapak terdiam. Menahan nafasnya. Entahlah. Aku rasa bapak terlalu berlebihan menanggapi perubahan sikapku. Aku tahu bapak memang agak melankolis dibanding emak. Bapak lebih perasa. Baginya, aku mau membantu di warung adalah suatu kebanggaan, karena kau tidak malu lagi mengakui profesinya.
Aku dan Dian makan bakso dengan nikmat. Hujan turun. Warung bapak semakin ramai. Aku serasa kembali ke masa lalu, setiap hujan turun, hatiku membuncah karena bahagia, membayangkan uang yang akan aku dapatkan setelah mengantarkan bakso tambahan untuk bapak.
Sore ini aku berdandan agak sedikit beda dari biasanya. Yah, aku ada kencan dengan Angga. Di warung bapak. Aku tidak ingin ada kencan di tempat lain. Aku ingin membantu bapak, dengan memilih kencan di warung, aku tidak akan melalaikan tugasku. Emak menggodaku saat melihat lipstick yang aku pakai lebih tebal dari biasanya.
“Inah, mau kondangan mana kau?” emak terkekeh. Aku tersipu malu. Aku memang sudah cerita dengan bapak aku akan kencan dengan Angga di warungnya. Pasti berita itu sudah sampai juga ke telinga emak.
“Hahaha, emak bisa aja. Inah kan mau bantuin bapak Mak.” Aku mengabaikan godaan emak. Aku merasa, akhir-akhir ini semua menjadi lebih indah dalam keluargaku. Hubunganku dengan emak semakin hangat. Apalagi sama bapak, aku bisa bercerita apa saja. Termasuk tentang Angga. Kecuali tentang keluarga Dian. Aku sudah berjanji dalam hati untuk tidak menceritakan mengenai aib keluarganya ke siapapun juga.
Angga tampak tegang saat datang, bukan ekspresi wajah yang aku harapkan saat kencan pertama kami.
“Nah, kamu udah dengar kabar? Papa Dian masuk penjara.” Aku mematung beberapa saat. Papah Dian dipenjara? Lalu Dian gimana.
“Ngga, tolong antarkan aku kesana ya.” Pintaku. Angga mengangguk. Aku pamit pada bapak, “Pak, Inah mau kerumah Dian dulu Pak. Kasian dia ada masalah.”
“Nduk, haruskah sekarang? Besok saja gimana. Bapak perlu kamu hari ini. Bapak pengen ngobrol.” Kata bapak. Aku heran. Bapak tidak pernah melarangku pergi. Inilah pertama kalinya. Kenapa wajah bapak seolah tidak rela aku pergi ke rumah Dian?
“Pak, Inah sebentar Pak. Nanti Inah balik lagi, kita bisa ngobrol sampai baksonya habis.” Tanpa mengindahkan permintaan bapak, aku naik ke motor Angga. Dian pasti membutuhkanku saat ini. Mudah-mudahan Dian gak papa.
Rumah Dian ramai. Mungkin sedang ada penggeledahan atau apalah, aku tidak perduli. Aku hanya perduli dengan Dian. Aku ingin masuk. Tapi polisi berjaga-jaga di pintu masuk rumah Dian. Melarang siapapun yang tidak berkepentingan untuk masuk. Aku ingin menghilang rasanya, dan masuk ke rumah Dian. Tapi aku dan Angga hanya bisa menonton dari luar rumah. Papah Dian keluar dari rumah, tangannya diborgol. Aku ingin berteriak, bertanya kemana Dian. Tapi aku hanya diam. Seorang wanita keluar dari rumah, membawa koper besar, aku tahu, dia Mbak Asri, pembantu rumah tangga keluarga Dian.
“Mbak Asri,” aku memanggilnya. Mbak Asri menoleh dan tersenyum padaku, “Dian mana Mbak?”
“Non Dian sama Ibu sudah berangkat ke Singapura dari tadi pagi Non. Soalnya Bapak udah tahu semua ini akan terjadi. Dia selamatkan dulu Non dan emak.” Aku diam. Ingat cerita Dian tentang keadaan rumah tangga orang tuanya. Di saat genting seperti ini, papahnya masih mau menyelamatkan mamahnya. Kalau aku jadi papahnya, mungkin akan kubiarkan semua terjadi di depan hidung mamahnya, agar dia tau, akibat dari ketamakannya. Tapi begitulah naluri seorang lelaki, melindungi keluarganya dari segala hal yang buruk.
Dengan langkah gontai aku dan Angga melangkah menuju sepeda motor. Mendadak hujan turun sangat deras. Petir bersahut-sahutan. Aku dan Angga terpaksa berteduh di rumah Dian.
“Kasian Bapak Ngga. Pasti warungnya rame. Aku gak bisa nolong.” Kataku.
“Maaf Nah, aku gak bawa jas hujan. Terlalu deras hujannya. Mana petir besar lagi. Takutnya ada pohon roboh Nah. Kita berteduh dulu ya. Nanti kalau sudah agak reda, kita ke warung bapak.” Aku tidak menjawab penjelasan Angga. Aku diam, mendadak aku cemas dengan bapak. Tadi bapak sudah menyuruhku untuk tidak pergi. Sekarang terbukti kata-katanya. Hujan turun deras dan aku tidak bertemu Dian. Dua jam kemudian, hujan baru reda. Kami bergegas pergi, melewati rintik yang masih turun. Sepanjang jalan aku lihat beberapa pohon tumbang. Wajar saja, angin sangat kencang tadi, seperti akan kiamat saja.
Warung bapak ramai. Aku tertegun, ramainya tidak biasa. Ya Allah, aku melihat gerobak bakso bapak hancur tertimpa pohon. Aku berlari, mencari bapak. Tapi tidak kutemukan bapak di warung. Aku berdoa, biarlah gerobak itu hancur. Asal bapakku tidak apa-apa. Angga mengantarkanku pulang. Ah, sekali lagi aku menyesal, kenapa bapak tidak pernah mau memakai hape, saat seperti ini rasanya aku harus mengetahui kabar bapak secepatnya.
Bendera putih berkibar di gang rumahku. Jantungku rasanya berhenti. Bapak meninggal? Seperti robot aku turun dari motor Angga. Aku melihat tubuh bapak ditutupi kain batik. Tidak ada darah di wajahnya. Bapak tidur? Aku membangunkan bapak, mengguncang-guncang tubuhnya. Memohon ampun karena tadi mengabaikan permintaanya. Permintaan terakhirnya. Lalu, semua gelap.
Aku tidak lagi suka hujan. Hujan telah merenggut bapak dari sisiku. Merebut orang yang aku cintai. Aku belum sempat minta maaf pada bapak, belum sempat bilang aku bangga padanya, belum sempat mengobrol tentang segala hal. Banyak yang belum aku lakukan. Empat puluh hari sudah bapak pergi. Setiap hujan turun, aku menangis. Seandainya aku mampu, aku akan tahan pohon itu. Pohon yang menimpa gerobak bapak, menimpa tubuh bapak. Maaf Pak, maaf Inah gak bisa berbuat apa-apa.
“Nah,” emak memanggilku dengan lembut. Aku menoleh. Emak melihat air mata yang jatuh bercucuran di pipiku. Kami pun menangis berpelukan. “Nah,” kata emak setelah tangisan kami reda, “Ada yang akan emak bicarakan dengan Kau.” Emak mengeluarkan beberapa berkas dari dalam sebuah tas kumal. “Ini dari bapak untukmu, Nah.” Aku membuka berkas-berkas itu. Surat kepemilikan tanah, rumah dan sebuah buku tabungan. Aku membuka buku tabungan itu dan melompat kaget, satu milyar rupiah? “Nah, kau tahu Nak, bapak menabung selama ini, untuk menghadapi situasi seperti ini. Kami bukan pelit padamu Nah. Kami mengerti anak muda perlu uang lebih untuk memuaskan keinginannya. Tapi bapak takut, takut kalau dia tidak ada, kita ndak bisa makan. Maka kau tengok selama ini Nah, bagaimana prihatinnya hidup bapak. Dia menabung, membeli tanah, membangun rumah untuk disewakan. Dia ndak mau memanjakanmu, walaupun dia mampu. Sekarang kita lihat kan, semua yang dilakukan bapak berguna untuk kita. Kau masih bisa sekolah setinggi apapun Nah dengan semua ini. Emak tidak perlu bingung karena rumah kontrakan bapak setiap bulan dapat memenuhi uang belanja.” Aku terisak-isak mendengar penjelasan emak. Semakin menggumpal rasa bersalah di hatiku. “Dan kau tau Nah, selama ini bapak memendam rindunya untuk pulang kampung. Tiap lebaran kita selalu disini. Itu karena bapak ndak ingin uang yang ia tabung untukmu habis untuk pulang kampung. Dia menabung hanya untukmu Nah. Makanya dia memberimu nama Sukinah, sama dengan nama ibunya, setiap dia menangis merindukan ibunya, wajahmu yang menghapus air matanya Nah.” Ya Allah, bapak. Bapak. Maafkan Inah.
***
Masya Allah..cerita yang mengharu biru..
BalasHapuskeren ini Mbak..terima kasih sudah membagikannya:)
Terimakasih mba dian sudah mampir.
Hapus