Langsung ke konten utama

BATAS

Kepalaku langsung sakit, ketika baru tiba di rumah, Sari, wanita yang aku nikahi 7 bulan lalu, mengadu sambil menangis bahwa dia baru saja dimaki-maki oleh ibu pemilik kontrakan karena sudah 3 bulan belum bayar uang sewa. Akhir-akhir ini aku memang tidak ada waktu mencari uang tambahan, waktuku habis di kampus, berpacu dengan waktu menyelesaikan tugas akhir. Jika tidak, aku harus membayar lagi uang spp semester depan. Aku tidak sanggup. Namun, harus ada yang aku korbankan, aku jadi tidak pernah punya uang berlebih. Rupiah yang tersisa hanya cukup untuk makan. Aku memeluk Sari. Membelai rambutnya. 

“Sabar ya Neng, Aa bakal nyari uang.” Janjiku. Janji yang sebenarnya akupun tidak tau bagaimana cara memenuhinya.

“Iya A. Maafin Sari ya, Aa baru pulang kuliah, bukannya dihidangin makanan, malah dapat masalah.” Aku hanya diam. Inilah mungkin alasannya, mengapa ibuku sangat menentang pernikahanku dengan Sari. Aku menikah pada usia cukup muda, 21 tahun. Sari 23 tahun. Sari adalah seniorku waktu sma, berlanjut hingga kuliah. Sari sudah menyelesaikan kuliahnya. Saat dia wisuda, aku melamarnya. Sebenarnya aku hanya melamarnya untuk pacaran, aku sudah lama memendam rasa pada Sari. Namun, Sari menolak, dia bilang, dia ingin menikah, bukan pacaran. Maka aku, mahasiswa yang belum punya pekerjaan ini nekad menyunting Sari. Sari belum sempat mencari pekerjaan, dia hamil. Maka aku menyuruhnya di rumah dulu, minimal hingga anak kami lahir. Sekarang, aku pusing. Berumah tangga memang tak hanya menimbulkan rasa manis, ada asam dan pahitnya juga. 

Tak mungkin aku jujur berkata, kalau aku agak menyesal menikahi Sari. Maksudnya buru-buru menikahinya. Harusnya aku bisa bersabar, menunggu. Membiarkan Sari bekerja dan percaya bahwa jika memang kami jodoh, dia tidak akan kemana-mana. Namun nasi sudah menjadi bubur. Sekuat apapun penyesalanku, Sari sudah terlanjur menjadi istriku. 

“Aku harus nyari kerja kemana ya Har? Yang bisa dapat uang cepat?” tanyaku pada Hari, sahabatku di kampus yang sedang sama-sama mengurus tugas akhir. Hari tidak tampan sebenarnya, tapi dia gagah. Berotot. Dan tunggangannya sebuah mobil keluaran terbaru, wajar jika dia dikenal sebagai playboy. Wanita mana yang gak mau ditumpangi mobil nyaman dan berAC. 

"Kamu serius mau kerja cepat dan menghasilkan banyak?" Tanyanya. 

"Tapi aku gak bisa jadi sales ya Har." 

"Yuk ke mobil." Hari menarik tanganku ke mobil. Aku senang diajak Hari jalan dan makan. Tak lupa aku minta bungkuskan makanan untuk Sari. Seperti tak tau malu memang, tapi aku kasihan, Sari lagi hamil, sudah seminggu dia hanya makan tempe pakai garam. Jadi aku membuang jauh harga diriku. Hari menawarkan pekerjaan yang menurutnya mudah dan menghasilkan banyak uang. Dia bercerita semua yang dimilikinya saat ini adalah hasil kerjanya. 

Aku menunggu Hari di lobi hotel bintang 5. Hari datang, dengan seorang perempuan cantik, walaupun nampak agak tua. Aku mengikuti mereka naik lift ke lantai 10. Sampai di depan sebuah kamar, aku masuk, dan mendapati ruangan yang tak ubahnya seperti diskotik. Aku merasa canggung, dan janggal. Apa pekerjaan Hari sebenarnya?

Dan disinilah aku sekarang. Menggoyangkan badan dengan hanya memakai celana dalam. Aku merasa sangat hina dan bodoh. Bersama Hari aku meliuk-liuk seperti ular. Dalam hati aku menangis. Namun iming-iming Hari, setelah ini paling sedikit aku bawa pulang uang 5 juta, aku membuang segala perasaan jengahku. Biarlah, meliuk-liuk sambil diteriaki wanita-wanita tua yang jumlahnya mungkin ada 20 orang. Musik menghentak-hentak. Tubuhku basah oleh keringat. Hari makin berani, dia membuka sedikit celana dalamnya, dan wanita-wanita itu makin histeris. 

"Ayo dikocok Jeng." Seorang wanita memegang sebuah botol kecil yang di dalamnya ada gulungan kertas. Aku dan Hari sudah berhenti menari. Kami duduk di ranjang, dikelilingi wanita-waita paruh baya itu. Ada yang memeluk bahu, menggandeng tangan, bahkan mengalungkan tangan di leherku. Aku muak dengan suasana ini. Tapi aku tak bisa mundur lagi. Uang 5 juta belum di tangan. Suasana riuh ketika gulungan kertas dibuka. 

"Jeng Giana. Ahhhhhhhhh," dengan genit wanita-wanita ini berteriak. Jujur, aku tak paham apa yang membuat mereka histeris. Tapi, wanita yang namanya disebut itu menari kesenangan. 

"Jeng Giana, hayo, mau sama Hari atau yang satu lagi. Masih gres loh yang ini." Suara tawa menggema. Aku? Aku bisa dipilih oleh wanita yang bernama Giana? Dipilih untuk apa?

"Aku mau kamu." Wanita yang dipanggil Giana, memelukku, menyentuh sedikit kemaluanku dari luar. Darahku berhenti mengalir. Aku minta izin sebentar untuk berbicara dengan Hari. 

"Ini apa-apaan sih? Kamu jebak aku?" Aku menahan geram dengan Hari. 

"Kan kamu yang setuju, ikut kerja sama aku. Kerja aku ya ini. Jadi pemuas wanita-wanita itu. Sudahlah, jika kamu berhasil memuaskan tante Giana, dia pasti memberi lebih." Hari meninggalkanku.

Sekarang, aku tinggal berdua dengan tante Giana. Wanita paruh baya yang tinggal memakai celana dalam dan bra. Entah kemana wanita lainnya. Aku menangis dalam hati. Apa kata Sari jika ia tahu apa yang aku lakukan malam ini? Aku bilang aku kerja. Ternyata aku melakukan hal nista. 

Tante Giana tampak puas. Wajahnya berseri. Aku telah membuat malaikat sibuk malam ini, dengan banyaknya dosa yang harus mereka catat. 

"Kamu hebat." Tante Giana mengecup dadaku. Aku hanya tersenyum. Tak dapat aku pungkiri, wanita ini lebih ganas di ranjang daripada Sari. Permainannya membuatku sejenak lupa dengam janin yang berada dalam rahim Sari. 

"Ini buat kamu." Tante Giana menyodorkan amplop. Aku menerimanya. 

"Terimakasih Tante." Kataku.

"Kapan kita bisa mengulang lagi Gung?" Tanya tante Giana. 

"Ha? Eh? Saya belum tau Tante." Aku tersenyum kecut. 

"Sekali lagi yuk, nanti aku tambah dua kali lipat." Aku menggeleng. Tapi mana bisa menolak tante ini. Dia lebih buas daripada Singa. Aku terkapar dibuatnya. Semua dosa ini dibayar tente Giana seharga 10 juta. 

Jam 7 pagi aku tiba di rumah. Sari sedang menyapu rumah.

"Aa, kenapa pucat?" Istriku membimbingku duduk, lalu mengambilkan air hangat. Aku meminumnya sampai habis. 

"Neng, ini." Sari mengambil amplop yang aku sodorkan, dia membukanya.

"Astaghfirullah A. Aa dapat uang ini darimana? Aa nyolong?"

"Gak Neng. Aa minjam uang Hari separuh. Sisanya hasil kerja Aa semalam." Aku berbohong. Jika Sari tau yang sebenarnya, bisa mengamuk dia. 

"Kerja apa Aa sampai dapat uang banyak begitu?" Suaranya penuh selidik. 

"Aa jaga villa Neng. Kebetulan yang punya orang kaya, jadi Aa dapat tips banyak."

"Alhamdulillah A. Tanyain A, kapan bisa kerja begini lagi. Kerja semalam, tapi hasilnya ngalahin kerja sebulan." Sari memelukku. Ada sembilu yang rasanya langsung menusuk jantungku. Sakit. Sangat sakit.

Aku trauma sebenarnya, aku jadi takut keluar rumah. Takut jika aku sedang jalan, aku bertemu dengan tante Giana. Aku memilih untuk lebih sering di rumah, atau di kampus. Tugas akhirku hampir selesai. Hari ini, aku mendaftar sidang. Sebelum berangkat, aku sarapan mi goreng buatan Sari.

"A, uang yang kemarin sudah habis." Sari menunduk. Aku tahu, dia pasti berat mengatakannya. Hanya dua bulan, uang 10 juta lesap. Aku maklum, kami membayar uang sewa rumah setahun, dan belanja baju bayi. Kehamilan Sari memang belum sampai 7 bulan, tapi, kapan lagi dapat rejeki sebanyak itu? Jadi kami memutuskan untuk membeli perlengkapan calon anak kami, melanggar pamali yang digaungkan ibuku ketika dia tau Sari hamil.

"Iya Neng. Aa faham. Nanti Aa cari kerja lagi Neng. Neng sabar ya." Sari mengangguk.

Di kampus, aku bertemu Hari. Dia juga sedang mendaftar sidang.

"Hai Gung." Dia menepuk pundakku.

"Hai Har. Udah keluar jadwal?" Tanyaku.

"Udah dong. Kamu?"

"Baru mau daftar."

"Gung, tante Giana kirim salam." Aku hanya tersenyum getir mendengar perkataan Hari.

"Jujur, aku merasa tertekan setelah kejadian kemarin." Kataku pada Hari.

"Gung, aku awalnya juga begitu. Tapi, siapa yang mau kasih kita makan kalau kita gak kerja? Siapa yang mau beliin kita baju? Sepatu? Di dunia ini, gak ada yang gratis Bro."

"Iya, tapi aku udah nikah. Aku kasih makan istriku pakai uang haram."

"Haram? Kamu gak nyuri, gak korupsi. Haram apanya? Realistis aja Gung. Gak ada kerjaan lain yang bikin enak kaya kerjaan kita sekarang."

"Kita? Kamu aja kali. Aku gak."

"Oh Man, kamu juga. Jangan munafik." Aku diam. Hari benar. Walaupun aku hanya sekali melakukannya, tapi aku sama dengan Hari.

"Agung." Sebuah suara manja menyapaku. Aku terkejut. Tante Giana. Darimana dia tahu kampusku? Dia seperti tak memberiku waktu berfikir, tante Giana mencium pipiku. Hari menyelamatkan situasi, dia cepat menyadarkan tante Giana. Tante Giana menarik tanganku menuju ke mobilnya.

"Sayang apa kabar?" Tante Giana menggenggam tanganku. Aku agak kaget dengan sikap agresip tante Giana.

"Saya baik Tante."

"Aku kangen Yank." Astaga, dia menyandarkan tubuhnya di bahuku. Tak bisa aku elakkan, hatiku bergemuruh. Deg degan seperti ABG yang baru pertama jatuh cinta. Aku hanya diam. Karena aku tak tahu harus berkata apa. Tante Giana terus berbicara. Macam-macam yang dibicarakannya. Aku hanya menjawab ha ho.

"Kapan kita ulang yang kemarin Gung?" Akhirnya keluar juga pertanyaan itu.

"Ha? Eh?"

"Kenapa? Kamu gak kangen aku?"

"Aku..." suaraku menghilang. Tante Giana menjalankan mobilnya. Tante Giana membawaku ke mall. Makan di food court. Tante Giana membelikanku baju dan sepatu. Aku iya iyakan saja semuanya. Aku takut meminta, karena aku tahu balasan yang dia inginkan. Setelah keluar dari mall, tante Giana mengantarku kembali ke kampus. Aku bingung, tak mungkin aku membawa semua belanjaan ini pulang. Apa yang harus aku jelaskan pada Sari. Aku menelpon Hari, ternyata dia masih di kampus. Aku mendatanginya.

"Kenapa Gung?" Hari melirik barang belanjaanku.

"Aku, gak butuh semua ini Har. Tolong kamu beli, bayar berapa saja." Aku menyodorkan tas belanjaanku pada Hari. Dia mengecek isinya. Menghela nafas panjang.

"Ini barang mahal semua Gung." Katanya.

"Iya, tante Giana yang membelikan. Aku jual ke kamu ya Har. Aku dan istriku sedang krisis keuangan." Hari mengangguk. Dia mengeluarkan dompet, dan menghitung lembaran merah sebanyak 10 lembar. 1 juta. Betapa mudah baginya. Aku memgambil uang itu, dan pulang.

"Neng. Neng." Aku sampai di rumah. Sari sedang berbaring di atas ranjang.

"Aa." Dia bangkit, tapi langsung meringis. Perutnya sakit. Aku hanya mengangguk. Aku memutuskan untuk menyimpan uang sejuta. Aku takut Sari curiga.

"Neng, ini Aa ada rejeki sedikit." Aku menyerahkan uang 100.000. Sari hanya mengangguk.

"Aa beli nasi ya. Perut Neng sakit A." Aku pergi membeli nasi. Kasihan istriku. Semoga ini bukan hukuman karena dosaku.

Sudah seminggu Sari sakit. Aku membawanya ke puskesmas. Tapi, dokter menyuruhku membawa Sari ke rumah sakit besar untuk usg. Aku tak bisa minta rujukan, karena aku tidak memiliki BPJS.

Uang sejuta sudah habis. Sari makin lemah. Aku panik. Akalku sudah habis, atau setan yang telah merasukiku terlalu jauh.

"Neng, Aa disuruh jaga villa lagi. Gimana? Besok Neng bisa berobat." Sari mengangguk. Aku menangis meninggalkan Sari sendiri. Maaf Neng, maaf. Aku janjian dengan tante Giana di sebuah hotel. Malam ini, aku telah mencapai batas. Moralku, akalku, imanku tak mampu menahan langkahku untuk terjerumus dalam gelimpangan dosa yang lebih dalam. Semalaman tante Giana merengguk habis kenikmatan duniawi bersamaku. Berkali-kali hapeku berbunyi, namun dia tak memberiku kesempatan untuk mengangkatnya.

Jam 7 aku sampai di rumah, rumah dalam keadaan terkunci. Tetanggaku mengabarkan, kalau Sari pendarahan hebat, dan dibawa tetangga ke rumah sakit karena dia berteriak minta tolong. Suara tetanggaku seolah memvonis, sudah tahu istri sakit, malah ditinggal. Aku diam saja. Buru-buru aku menyusul ke rumah sakit. Istriku dibiarkan begitu saja, di bangsal. Aku menangis. Kata perawat, dia keguguran. Aku meminta Sari dipindahkan ke ruang perawatan kelas 1. Siapa lagi tempatku mengadu, kalau bukan tante Giana. Dia langsung mentransfer uang untuk biaya administrasi rumah sakit.

Ada amarah di mata Sari ketika kami bertatap, "Kamu kemana semalaman aku telpon gak diangkat?" Tanyanya.

"Maaf Neng." Aku menunduk.

"Aku kesakitan semalaman Gung. Aku telpon kamu. Darah mengalir di kakiku. Aku takut Gung. Kamu tidak mengangkat telponku. Aku minta tolong ke tetangga. Mereka membawaku naik pick up Gung. Aku dibaringkan begitu saja di bak belakang. Tanpa ada yang menungguiku." Sari menangis. Akupun menangis. Semalaman aku berbuat dosa, istriku menanggung akibatnya. Sari menangis lama. Dia tak mau menegurku lagi. Setelah pulang, dia tetap dingin padaku.

"Neng, maafin Aa." Aku memeluk Sari. Dia menangis lagi.

"Aku kehilangan anakku karena kamu Gung." Dia mendorongku. Aku tetap memeluknya. Lama-lama Sari membalas pekukanku. "Aa, anak kita meninggal." Dia meraung. Kami bertangis-tangisan berdua.

Sebulan berlalu, luka hati Sari sudah mengering. Dia lebih semangat sekarang, karena dia sudah mendapatkan pekerjaan. Dia bekerja di sebuah perusahaan distributor oli. Perusahaan besar. Gaji Sari cukup untuk menopang rumah tangga kami. Aku sedang mencari pekerjaan juga. Selesai wisuda, duniaku malah makin muram.

Sari sering pulang malam. Sibuk katanya, sampai di rumah kadang jam 11 malam. Sering dia menolakku di ranjang. Aku ingin marah, sudah 2 minggu aku tak diberinya nafkah batin. Aku mengerti Sari lelah, pergi pagi pulang malam. Tapi aku juga butuh dia sebagai istriku.

"Aa, Neng berangkat." Sari mencium tangkanku. Aku melengos. Sari tertawa.

"Aa masih marah ya? Ntar malam ya A. Neng janji." Aku masih melengos. Sari naik ke mobil. Sari memang difasilitasi mobil antar jemput ke kantor.

Dan disinilah aku sekarang, di pelukan tante Giana. Dia selalu datang di saat yang tepat. Entah bagaimana, dia meneponku setelah Sari berangkat kerja. Aku yang sedang kalut dan mengalami krisis kepercayaan diri sebagai suami, mengiyakan saja ajakannya. Sampai sore kami bergumul di hotel. Tante Giana memberiku uang 1 juta ketika aku pulang. Aku berterimakasih. Dia tersenyum dan meneruskan tidurnya. Aku pulang. Sampai malam, Sari belum juga pulang. Untunglah tante Giana sudah memuaskanku tadi. Jam 12 Sari pulang. Wajahnya tampak lelah.

"Aa, maaf Neng pulang lama." Dia mencium punggung tanganku.

"Iya, Neng tidur ya."

"Gak papa A? Aa gak marah?"

"Gak." Aku tersenyum. Sari bebersih badan dan tidur. Aku menatap wajah lelapnya. Aku baru menyadari Sari sekarang berbeda. Wajahnya tampak lebih bersinar, dia semakin cantik. Aku memeluknya ketika tidur. Sudah lama sekali kami tidak berpelukan.

Aku belum juga mendapat pekerjaan. Sementata karir Sari semakin bersinar. Sekarang dia sudah membeli mobil dan rumah. Aku masih sibuk mencari kerja sana sini. Sari juga berubah. Dia tampak lebih mahal sekarang. Tas, sepatu, baju, handpohone semua baru. Dia semakin cantik dan memikat. Sayangnya, aku sebagai suaminya malah jarang menikmati kecantikannya. Aku masih sering bertemu tante Giana, lebih sering sekarang. Aku tidak mengaku di depan Sari kalau aku belum bekerja. Aku mengaku sudah bekerja. Aku rutin memberi uang bulanan padanya. Tentu saja uang yang aku kumpulkan dari tante Giana.

"Aa, besok kantor Neng ada acara family gathering. Aa datang ya." Kata Sari suatu malam, saat ia baru pulang kerja.

"Jam berapa Neng?" Tanyaku. Aku ada janji dengan tante Giana. Tapi pagi, sekitar jam 10.

"Malam A. Jam 7. Cuma makan malam A. Terus kenalan-kenalan gitu. Biar saling kenal."

"Iya Neng."

Tante Giana tak semangat hari ini. Aku heran. Biasanya dia selalu beringas jika melihat wajahku.

"Kenapa Tan?" Tanyaku. Tante Giana duduk termenung sambil merokok.

"Suamiku selingkuh Gung." Katanya, menghela nafas berat.

"Apa bedanya dengan kamu?" Aku memeluknya dari belakang. Tante Giana sangat suka aku peluk dari belakang.

"Iya sih. Hahaha," tante Giana tertawa. "Tapi tetap sakit Gung."

"Iya. Aku juga gak bisa terima kalau Sari sekingkuh. Padahal, aku gimana, ya kan Tan." Dia memelukku. Dan selanjutnya, semua berjalan seperti biasa.

Aku memakai baju terbaik malam ini, jangan sampai, aku terlihat jelek di depan rekan kerja Sari. Sari berkilau malam ini. Semua yang dipakainya look perfect dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kami pergi ke acara family gathering kantor Sari.

Makan malam dilakukan di sebuah rumah makan Sunda. Bos Sari membooking seluruh rumah makan untuk acara ini. Semua membaur jadi satu. Acara ramah tamah dan makan malam berjalan lancar. Sari berkeliling mengenalkanku dengan rekan-rekannya. Semua memandangku dengan penuh makna. Sempat terbersit rasa tak enak di hatiku. Ada apa? Apakah aku salah kostum, atau sepatuku salah. Tapi, sepertinya tak ada yang salah. Aku sudah memastikan penampilanku sempurna tadi.

"Aa, ayo Neng kenalin sama pak Boy, bos Neng." Aku mengikuti langkah Sari. Dia menggandeng tanganku ketika langkahnya semakin dekat.

"Pak, ini suami saya. Agung. Aa, ini pak Boy dan istrinya." Sari mengenalkan.

"Agung." Kataku tersenyum kaku.

"Boy." Pak Boy menyalamiku, "Ini istri saya." Aku menyalami istri pak Boy.

"Agung."

"Giana." Tante Giana tersenyum padaku. Sesempit ini dunia fikirku. Sejauh ini aku melangkah, tante Giana juga yang aku temui. Sari mengobrol dengan bosnya. Aku mengamati pak Boy, suami tante Giana. Masih gagah, keren dan parlente. Wajar saja, pikirku, uangnya banyak. Uang bisa merubah segalanya. Contohnya istriku. Bagaimana penampilannya dulu. Berdaster kumal setiap hari, makam tempe dan garam sudah biasa. Sekarang? Jangan ditanya, koleksinya saja tas bermerk. Semua lelaki pasti melirik jika Sari lewat, minimal menikmati aroma wanginya.

Setelah family gathering, aku malah makin jarang berjumpa tante Giana. Aku kesepian. Saripun sangat sibuk. Akhir-akhir ini dia sering dinas keluar kota. Aku belum juga mendapat pekerjaan. Lelah aku mencari kesana kemari.

Tante Giana tiba-tiba menelpon, mengajak ketemuan di tempat biasa. Aku langsung mandi dan bergegas pergi. Sampai di kamar, aku langsung memeluknya, aku rindu. Ya, setahun dekat dengannya, tak mungkin tak timbul rasa. Berhubungan layaknya suami istri, tanpa beban, tanpa ikatan, tanpa tanggung jawab. Menyenangkan dan menghilangkan dahagaku di rumah.

Tak kuduga, tante Giana menepisku. Dia menyuruhku duduk di kursi.

"Skornya, satu satu Gung." Katanya tiba-tiba.

"Maksud kamu apa Tan?" Tanyaku heran, mendadak tante Giana ngomongin skor.

"Kamu tau siapa selingkuhannya Boy?"

"Memangnya kamu udah tau?"

"Sari. Neng kamu." Bagai tersambar petir aku mendengat perkataan tante Giana.

"Aku gak percaya. Kamu jangan fitnah istriku." Aku berteriak. Tante Giana menunjukkan sebuah handphone.

"Ini handphone Boy. Handphone lamanya, yang dia simpan di lemari. Mungkin dia lupa menghapus ini." Tante Giana menunjukkan banyak foto dan video adegan dewasa antara Sari dan pak Boy. Aku jijik melihatnya.

"Aku gak percaya Tan." Aku menarik rambut sendiri. Ada cemburu di hatiku. Tapi, pantaskah aku merasakannya? Sementara, aku juga berbuat yang sama dengan tante Giana. Lebih lama daripada Sari dan pak Boy pastinya.

"Jadi kita gak perlu merasa berdosa melakukan ini Gung. Mereka juga sama. Hahaha." Giana tertawa lepas. Tapi aku tidak bisa. Hatiku sakit melihat adegan demi adegan Sari dan pak Boy. Pantaslah saat family gathering, semua rekan kerja Sari menatapku dengan penuh makna. Ini jawabannya. Mereka sudah mendengar tentang gosip ini.

"Family gathering itu hanya rencana saja Gung. Maksud sebenarnya, untuk menutupi perselingkuhan mereka. Datang membawa kita, seolah antara mereka tidak ada apa-apa." Kata tante Giana lagi, "Kamu pernah ceritakan, kalau Sari sekarang beli mobil, beli rumah, aku yakin, itu pasti hadiah dari Boy. Sari hanya staff front liner di kantor Gung." Sambungnya. Aku diam, tak berniat menjawab. Tante Giana benar. Kenapa aku tak berpikir sejauh itu? Sari cepat sekali mengumpulkan pundi-pundi rupiah, sementara gajinya habis untuk kebutuhan rumah tangga kami. Belum lagi koleksi tasnya. Aku ingin marah pada Sari. Tapi, aku bahkan lebih buruk darinya.

Aku termenung sendirian di rumah. Jam 10 malam Sari belum juga pulang. Jujur, aku tak tahu harus berbuat apa. Hati dan kepalaku masih panas. Mungkin Sari sedang bersama pak Boy, memadu kasih. Seperti yang aku lakukan bersama tante Giana.

"Assalamualaikum." Jam 12 malam Sari sampai di rumah. Wajahnya berseri. Sakit hatiku, bahkan wajahnya tak pernah secerah sehabis bercinta bersamaku.

"Waalaikumsalam Neng." Sari mencium tanganku.

"Aa udah makan?" Tanyanya.

"Neng, beresin baju kamu sekarang."

"Ha? Aa mau ngajak Neng liburan?"

"Kita pergi dari sini. Pergi jauh, dan tak kembali lagi."

"Kenapa A?" Aku menunjukkan foto dan video Sari bersama pak Boy. Sari histeris, dia menangis bersujud di kakiku. Aku diam saja, tak berusaha memeluknya. Aku memang kecewa dengannya, namun aku juga banyak kesalahan. Mungkin, jika kami pergi dari kota ini, kami akan melupakan masa lalu kami yang buruk. Aku tak berniat menceritakan kondisiku dan tante Giana. Biarlah itu menjadi rahasiaku saja. Sebagai pengingat, agar aku bisa memaafkan Sari.

Disinilah aku sekarang. Jauh dari kota. Di sebuah perkebunan sawit yang lokasinya di pedalaman. Aku bekerja di sini sebagai kepala kebun. Sari membuka kantin, disinilah rejeki halal bagi kami terbuka. Meninggalkan masa lalu, meninggalkan semua dosa dan mengobati semua luka. Kantin Sari sangat ramai, karena tidak ada lagi orang lain yang membuka kantin di sini. Kami memulai semuanya dari awal. Menjual rumah dan mobil, menjauh dari hiruk pikuk keramaian.

"Aa, tolong telponkan mas Gugus. Stock kantin habis."

"Iya Sayang." Mas Gugus sekali sebulan memang mengantarkan stock bahan makanan. Belanja ke kota hanya akan menghabiskan waktu. Walaupun agak mahal, tapi jika dihitung tetap lebih hemat.

"Gung, kamu dipanggil ke atas." Mas Jacky, staff HRD memanggilku.

"Ha? Kenapa Mas?" Aku langsung deg-degan. Naik ke atas bagi petugas lapangam seperti kami menimbulkan tekanan luar biasa.

"Hmmm, sepertinya kamu dapat promosi. Staff humas ada yang resign." Aku cepat naik ke atas. Ini kesempatanku untuk berkarir lebih baik. Promosi berarti naik gaji.

"Kamu ditunggu di dalam," kata bang Jacky. Aku masuk ke sebuah pintu yang bertuliskan 'DIREKTUR'.

Aku terpekur menatap wanita yang duduk di kursi direktur dengan anggun. Tante Giana. Aku baru tahu, tante Giana direktut perusahaan ini. Orang kebun memang tak pernah mengenal siapa-siapa saja orang atas.

"Duduk." Perintah tante Giana. Suaranya penuh kemenangan. Aku menggeleng, mundur selangkah. Aku memilih pergi. Aku tak perlu promosi atau naik gaji. Aku ingin begini saja. Jauh dari dosa.

"Gimana A?" tanya Sari ketika aku pulang makan siang.

"Gak jadi Neng. Aa di kebun aja."

"Kenapa? Bukannya tadi Aa senang banget."

"Gak ah Neng. Aa di kebun aja. Lebih senang, bisa sering pulang." Sari tertawa. Aku tersenyum. Andai dia tau dosa apa yang pernah aku lakukan bersama tante Giana, pasti tertawanya tidak akan selepas sekarang. Biarlah rahasia tetap menjadi rahasia.

***

Komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada blog baru ini jadi semangat buat posting. Maklum manusia purba , orang-orang udah basi tapi aku baru mulai, selalu begitu..... Jadi semalam pagi2 aku stress berat. idupin laptop gak bisa.. Padahal baru dicas sampe penuh P adahal laptop ku baru Tuhan apa yang terjadi? dengan nafsunya aku bawa laptop ke tukang serpis. sekalian komplen masa laptop baru udah rusak. sampe disana, abang yang nyerpis laptopnya cute dan kelihatannya masih sangat brondong. abang cute :"Kenapa laptopnya BUK?" ahhhh, aku ibuk2? aku : "gak mau idup bang, padahal baru di cas semalam jadi gak mungkin abis batere." Si abang cute langsung nyari cas laptop terus ngecas laptop ku. lima menit kemudian dia coba idupin dan LAPTOPNYA IDUP. IDUP!!! Langsung malu dan ingin mengubur diri. tapi tetap jaga wibawa di depan abang cute. aku : "cuma abis batere ya bang? oh, mungkin karena semalam kerja sampe pagi, jadi baterenya gak kuat." cuih cuih cuih, kerja? yang ada juga ketiduran sampai pa

MAMAK MAUNYA APA

Ini pertanyaan yang sedang mamak ajukan ke diri mamak sendiri, berkaitan dengan si kakak (halah). Rasanya, ilmu psikologi yang mamak pelajari selama 4.5 tahun sia-sia, karena anak sendiri pun gak bisa mamak kendalikan kelakuannya.  Jadi di rumah mamak, ada tetangga baru, rumah yang dulunya kosong, kini terisi kembali. Hati mamak gembira sekali, mana tetangga mamak ini bakul kue pulak. Ah, cocok kali rasa mamak kan. Tapiiiiiii.... si kakak, yang sangat antusias tetanggaan sama teman satu sekolah, euforianya keterlaluan. Buka mata pengen langsung main ke tetangga, dan jadi sering ngebentak-bentak kalo dibilang jangan pergi main. Yah, kan gimana ya, namanya juga orang, pengen tidur, istirahat, makan dan punya banyak waktu bersama keluarganya. Dan kalau si kakak main disitu berjam-jam, yang punya rumah pasti eneg, mau nyuruh pulang gak enak, mau dibiarin makin gak enak. Mamak udah ngasi ceramah sama si kakak, semua stok ceramah agama mamak udah mamak keluarkan. Tapi gak mempan

GAMBAR MAMAK

Semalam si kakak menggambar sesuatu di kertas bekas merk jaket. Dan pas udah selesai, taraaaaaaaa... Kata si kakak, "ini gambar bunda." Mamaknya sih ketawa, ngasi jempol. Dan si kakak mesem-mesem bangga dipuji mamaknya. Tapi sebenarnya dalam hati mamak bergejolak. Kenapa gambar mamak kaya gini, muka mamak dicoret-coret pulak. Maksudnya menggambarkan apa ini nak? Ditambah hidung mamak double gitu. Beserak-serak muka mamak yang ada dalam benak si kakak. Mungkin, ini teguran dari kakak dan Tuhan. Sebagai mamak, mamak masih berantakan dalam mendidik si kakak, gak bisa kasi contoh yang baik juga. Hobi ngomel dan marah-marah. Tiap dia mau ngomong disuruh diam. Sampai-sampai, si kakak tiap malam ngomong, "Bund, Pa, kakak haus." Mamak bapaknya yang flat ini ngomong, "minumlah kalau haus." "Kakak haus perhatian." Mamak sama bapak pandang-pandangan. Terus ketawa.  Padahal banyak makna pastinya dari kata-kata si kakak itu. Seja