Aku duduk di atas kursi makan, berfikir tentang, kata apa yang akan aku tulis pertama kali dalam surat cinta untuk Saiful, suamiku. Bukan hanya pasangan muda yang perlu romantisme seperti ini, pasangan paruh baya pun ingin merasakan manisnya madu cinta. Aku tersenyum sambil menghapus air mataku, mulai menggoreskan pena ke selembar kertas yang telah aku semprot dengan parfum kesukaan Saiful,
"Saiful suamiku,
Assalamualaikum abang, apa kabar? Aida kangen abang. Hehehe, seperti remaja saja ya bang. Tapi serius bang, Aida sangat kangen abang. Padahal dulu, Aida suka pura-pura tidur kalau abang masuk kamar, supaya abang gak bangunkan Aida dan menyuruh Aida membuatkan kopi. Maafkan Aida bang. Sekarang, Aida susah tidur bang, berharap abang datang dan Aida akan buatkan abang kopi paling enak sedunia.
Abang, Aida mencintai abang. Sangat cinta. Seharusnya dari dulu Aida bilang, tapi Aida terlalu malu bang. Padahal, abang selalu menunjukkan rasa cinta yang besar pada Aida. Memeluk Aida setiap hari, tapi Aida menepis pelukan abang, dengan alasan mau masak, mau nyuci, mau menyapu. Sekalipun abang tak pernah marah. Abang tak pernah marah dengan Aida, walaupun seharian wajah Aida cemberut karena lelah membereskan rumah. Padahal abang pasti lebih lelah dari Aida bekerja seharian di kebun. Namun abang selalu pulang dengan wajah penuh senyuman, maafkan Aida bang.
Abang, pertama kali bertemu abang, Aida memang belum mempunyai rasa apapun pada abang, meskipun abang bilang, abang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Aida. Abang yang berwajah keras dan berkulit hitam, membuat Aida takut. Ternyata, Aida salah. Abang memang keras, tapi tidak pada Aida. Abang lemah lembut saat bersama Aida. Semakin hari, rasa cinta Aida kepada abang semakin berkembang. Bisakah abang merasakannya?
Aida jatuh cinta pada Abang. Saat abang begitu kuat menjalani hidup, menerjang segala badai demi dapat memberi yang terbaik pada keluarga kita, saat abang selalu tertawa dimanapun abang berada, saat abang menghapus air mata Aida yang menangis karena kehabisan uang belanja, saat abang tersenyum ketika Aida mendorong keras dada abang karena tak ingin diganggu malam hari, saat abang mengganti sumbu kompor Aida yang sudah pendek, saat abang mengajarkan anak-anak kita huruf hijaiyah, saat abang memeluk Aida dari belakang ketika sedang masak, saat abang menolong tetangga kita yang terjatuh dari sepeda, saat abang menggendong anak kita yang menangis ingin mainan anak tetangga. Banyak bang, banyak hal yang membuat Aida jatuh cinta lagi, dan lagi pada abang. Abang sempurna bagi Aida.
Maafkan Aida bang, karena baru berani mengakui semuanya sekarang. Padahal abang selalu bertanya, cintakah Aida pada abang? Tapi Aida malah bersungut dan meninggalkan abang begitu saja. Maafkan Aida bang. Maafkan Aida atas segalanya bang.
Aida cinta abang. Selalu cinta pada abang. Sampai kapanpun, Aida akan tetap cinta pada abang. Hanya abang satu-satunya lelaki yang pernah mengisi hati Aida. Aida cinta abang, sangat sangat cinta abang."
Aku menangis menuliskan kata demi kata di selembar surat untuk Saiful suamiku.
Aku melangkah gamang, didampingi Raya, cucuku. Sulit bagiku melangkah tanpa dibimbing bang Saiful, tapi aku harus kuat. Aku terduduk, meyakinkan diri sekali lagi, kalau di nisan ini memang nama bang Saiful yang tertulis. Aku belum bisa terima, jasad bang Saifullah yang berada di bawah ini.
"Bang, ini bang, surat untuk abang. Abang baca ya, didalamnya Aida menulis jawaban dari pertanyaan abang, yang selalu abang tanyakan selama abang sakit. Maafkan Aida bang." Aku menangis sambil memeluk nisan bang Saiful. Raya mengusap bahuku.
"Nek, udah yuk pulang, kasihan kakek kalau nenek meratapi kuburnya." Aku mengangguk, dan berdiri. Tertatih. Bertahun-tahun bang Saifullah yang membimbingku kesana kemari. Menguatkan kakiku yang semakin melemah. Terkadang menggendongku ketika aku merasa lelah berjalan. Seminggu bang Saiful pergi, separuh aku ada bersamanya, di dalam sana. Aku hancur berkeping-keping. Aku ingin bersamanya.
"Nek, Raya ambil motor. Nenek disini, jangan kemana-kemana." Aku hanya diam.
"Aida," sebuah suara lembut memanggilku. Bang Saiful bediri di sebrang jalan, merentangkan tangan untuk memelukku. Aku tertawa, memaksakan kakiku untuk melangkah ke dalam pelukannya.
"NENEK, ADA MOBİL NEK.... NENEK JANGAN NYEBRANG NEK. NENEK, AGHHHHHHHHH." Raya menutup matanya, tak sanggup melihat darah yang menyebar kemana-mana.
*SELESAİ
"Saiful suamiku,
Assalamualaikum abang, apa kabar? Aida kangen abang. Hehehe, seperti remaja saja ya bang. Tapi serius bang, Aida sangat kangen abang. Padahal dulu, Aida suka pura-pura tidur kalau abang masuk kamar, supaya abang gak bangunkan Aida dan menyuruh Aida membuatkan kopi. Maafkan Aida bang. Sekarang, Aida susah tidur bang, berharap abang datang dan Aida akan buatkan abang kopi paling enak sedunia.
Abang, Aida mencintai abang. Sangat cinta. Seharusnya dari dulu Aida bilang, tapi Aida terlalu malu bang. Padahal, abang selalu menunjukkan rasa cinta yang besar pada Aida. Memeluk Aida setiap hari, tapi Aida menepis pelukan abang, dengan alasan mau masak, mau nyuci, mau menyapu. Sekalipun abang tak pernah marah. Abang tak pernah marah dengan Aida, walaupun seharian wajah Aida cemberut karena lelah membereskan rumah. Padahal abang pasti lebih lelah dari Aida bekerja seharian di kebun. Namun abang selalu pulang dengan wajah penuh senyuman, maafkan Aida bang.
Abang, pertama kali bertemu abang, Aida memang belum mempunyai rasa apapun pada abang, meskipun abang bilang, abang jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Aida. Abang yang berwajah keras dan berkulit hitam, membuat Aida takut. Ternyata, Aida salah. Abang memang keras, tapi tidak pada Aida. Abang lemah lembut saat bersama Aida. Semakin hari, rasa cinta Aida kepada abang semakin berkembang. Bisakah abang merasakannya?
Aida jatuh cinta pada Abang. Saat abang begitu kuat menjalani hidup, menerjang segala badai demi dapat memberi yang terbaik pada keluarga kita, saat abang selalu tertawa dimanapun abang berada, saat abang menghapus air mata Aida yang menangis karena kehabisan uang belanja, saat abang tersenyum ketika Aida mendorong keras dada abang karena tak ingin diganggu malam hari, saat abang mengganti sumbu kompor Aida yang sudah pendek, saat abang mengajarkan anak-anak kita huruf hijaiyah, saat abang memeluk Aida dari belakang ketika sedang masak, saat abang menolong tetangga kita yang terjatuh dari sepeda, saat abang menggendong anak kita yang menangis ingin mainan anak tetangga. Banyak bang, banyak hal yang membuat Aida jatuh cinta lagi, dan lagi pada abang. Abang sempurna bagi Aida.
Maafkan Aida bang, karena baru berani mengakui semuanya sekarang. Padahal abang selalu bertanya, cintakah Aida pada abang? Tapi Aida malah bersungut dan meninggalkan abang begitu saja. Maafkan Aida bang. Maafkan Aida atas segalanya bang.
Aida cinta abang. Selalu cinta pada abang. Sampai kapanpun, Aida akan tetap cinta pada abang. Hanya abang satu-satunya lelaki yang pernah mengisi hati Aida. Aida cinta abang, sangat sangat cinta abang."
Aku menangis menuliskan kata demi kata di selembar surat untuk Saiful suamiku.
Aku melangkah gamang, didampingi Raya, cucuku. Sulit bagiku melangkah tanpa dibimbing bang Saiful, tapi aku harus kuat. Aku terduduk, meyakinkan diri sekali lagi, kalau di nisan ini memang nama bang Saiful yang tertulis. Aku belum bisa terima, jasad bang Saifullah yang berada di bawah ini.
"Bang, ini bang, surat untuk abang. Abang baca ya, didalamnya Aida menulis jawaban dari pertanyaan abang, yang selalu abang tanyakan selama abang sakit. Maafkan Aida bang." Aku menangis sambil memeluk nisan bang Saiful. Raya mengusap bahuku.
"Nek, udah yuk pulang, kasihan kakek kalau nenek meratapi kuburnya." Aku mengangguk, dan berdiri. Tertatih. Bertahun-tahun bang Saifullah yang membimbingku kesana kemari. Menguatkan kakiku yang semakin melemah. Terkadang menggendongku ketika aku merasa lelah berjalan. Seminggu bang Saiful pergi, separuh aku ada bersamanya, di dalam sana. Aku hancur berkeping-keping. Aku ingin bersamanya.
"Nek, Raya ambil motor. Nenek disini, jangan kemana-kemana." Aku hanya diam.
"Aida," sebuah suara lembut memanggilku. Bang Saiful bediri di sebrang jalan, merentangkan tangan untuk memelukku. Aku tertawa, memaksakan kakiku untuk melangkah ke dalam pelukannya.
"NENEK, ADA MOBİL NEK.... NENEK JANGAN NYEBRANG NEK. NENEK, AGHHHHHHHHH." Raya menutup matanya, tak sanggup melihat darah yang menyebar kemana-mana.
*SELESAİ
Komentar
Posting Komentar