Aku dibilang mandul oleh ibu mertuaku, karena sudah setahun menikah, aku belum juga hamil. Perih hatiku mendengar tuduhannya. Apa kabar anaknya? Yakinkah dia anaknya sehat? Aku ingat sekali, kak Leli, mantan istri suamiku sedang hamil anak kedua. Aku masih terbayang wajah pucat İndra suamiku, mendengar berita kak Leli hamil lagi. Dan kemudian, aku, istri kedua suamiku, yang baru setahun menikah dengannya dituduh mandul oleh mertuaku. İronis.
"Ratna, daripada kau diam di rumah, bagus kau kerja. Cari kerja sana. Kan kau ada ijazah guru, bisalah kau ngajar di sekolah. Makin bulat badan kau aku tengok, golek-golek di rumah aja, macam mana kau mau hamil, kalau badan kau sebesar gajah." Kata mertuaku. Aku menangis dalam hati mendengar perkataannya. Makin hari, setiap huruf yang keluar dari mulut perempuan ini makin menyakitkan. Tapi aku diam saja, sia-sia jika aku menjawab kata-katanya. Yang ada dia malah makin panjang mengomel. Setahun menikah dengan bang İndra, aku lelah tinggal serumah dengan mamak, mertuaku. Memang, kamilah yang mengajak mamak tinggal bersama kami, karena di Medan, mamak tinggal sendirian. Tapi, dulu mamak baik padaku, tidak pernah berbicara hal yang menyakitkan. Sejak kak Leli hamil kedua, mamak seperti menumpahkan amarahnya padaku. Kalau hatiku belum sakit, belum berhenti mamak bicara.
"Bang, Na ingin kerja lagi," kataku pada bang İndra ketika kami akan tidur.
"Sudah berapa kali abang bilang, abang gak mau kamu kerja, biarlah abang saja yang kerja ya sayang," dia membelai kepalaku. Kesal hatiku karena bang İndra gak pernah mengerti. Tapi aku memang tidak pernah menceritakan bagaimana mamak memperlakukanku saat dia kerja. Bang İndra memelukku, dan bercerita tentang kejadian lucu di kantornya. Kegiatan ini rutin kami lakukan setiap malam, karena bang İndra mengerti, aku pasti jenuh di rumah. Kami cekikikan di kamar. Lelucon bang İndra selalu sukses membuatku geli.
Gubrak, pintu dibuka dengan kasar, mamak masuk dengan wajah marah,
"Kenapa kalian ketawa-ketawa, tak malu kalian terdengar dengan tetangga. Jagalah mulut kalian," aku dan bang İndra sama-sama terdiam. Mamak lancang sekali.
"Mamak kenapa? Suara kami pelan kali mak. Mamak yang teriak," bang İndra berusaha membela diri.
"Wajar suaraku kuat, kalian ketawa-ketawa, membicarakan mamak kalian?"
"Jagalah omongan mamak. Jangan kaya gitu ngomongnya." Bang İndra kelihatan terkejut mendengar tuduhan mamak. Aku maklum, kepadaku mamak juga kasar.
"Berani kau melawanku İn? Sejak kawin sama si Ratna, berani kau melawan aku. Bagus kau tak usah kawin lagi, supaya kau gak melawan sama aku."
"Mamak ngomong apalah. Bingung İndra sama mamak." Suamiku berdiri dan pergi entah kemana. Meninggalkanku dan mamak.
"Bang, mamak memaksa Na urut perut," aku melapor pada bang İndra. Dia diam saja, tak kuasa melawan mamaknya.
"Besok kita urut perut kau Ratna. Supaya cepat kau hamil. Kau mau mandul sampai tua?" Bang İndra kaget mendengar perkataan mamak. Aku menangis dan langsung masuk kamar. Bang İndra mengikutiku.
"Bang, kenapa abang diam saja?" Tangisku pecah di kamar.
"Maafkan abang ya Ratna." Bang İndra memelukku, pelukan yang hambar, karena membelaku di depan mamak saja, dia sudah tak mampu.
Semalaman aku gelisah. Memikirkan perutku yang akan diurut besok. Pada siapa aku harus mengadu? Aku ingat bang Willy, abang iparku. Bang İndra selalu bilang, jangan curhat apapun pada kak Diana, istri bang Willy, kalau begitu dengan bang Willy saja aku cerita. Aku mengambil hpku, mengetik sms panjang.
Jam 7 pagi, bang Willy datang ke rumah. Aku kaget, takut mamak marah kalau tau aku curhat ke bang Willy. Tapi, aku tak tau harus bersandar pada siapa, ketika suamikupun membiarkan mamak mendikteku.
"Pagi kali kau datang Willy? Gak kerja kau rupanya?" Tanya mamak.
"Kerja mak. Sengaja aku datang kesini pagi-pagi. Supaya mamak membatalkan rencana mamak untuk mengurut perut si Ratna."
"Ha?" Kening mamak berkerut, "darimana pulak kau tau?"
"Tak penting darimana aku tau mak. Aku ingatkan mamak ya, jangan pernah urut perut si Ratna. Bahaya mak, gak boleh itu. Baru pun setahun orang ini nikah." Kata bang Willy lagi.
"Jangan kau atur-atur mamak Willy. Nantik kalo gak punya anak adek kau, baru kau menyesal, baru kau sadar, si Ratna mandul."
"Yakin rupanya mamak Ratna mandul? Macam mana kalau İndra yang mandul?" Kata-kata bang Willy membuat mamak murka. Dia masuk kamar dan membanting pintu. Bang Willy langsung pergi, tanpa sempat berbicara padaku lagi. Bang İndra membawaku ke kamar.
"Kenapa sampai bang Willy tau?" Tanyanya.
"Na yang bilang. Abang bilang tak boleh curhat sama kak Diana, makanya Na kasi tau bang Willy. Bang, gak boleh urut perut bang, bahaya. Kan sudah banyak kasusnya, ada yang rahim keluar pas menopause gara-gara urut perut, banyak bang, dan Na gak mau mengalami hal yang sama."
"Tapi kenapa kamu ceritanya sama bang Willy?"
"Lalu menurut abang, Na harus cerita dengan siapa? Abang aja gak bisa melarang mamak, gak bisa membela Na. Terus, pada siapa lagi Na bisa berharap bang?" Bang İndra diam. "Bang, ayolah kita periksa ke dokter. Kalau memang Na mandul, abang boleh tinggalkan Na, dan cari istri lain yang bisa memberi abang keturunan."
"Ah, apalah kamu ini Rat. Abang gak kepikiran sampai sana. Sudahlah, abang kerja dulu."
Bang İndra selalu begitu. Mengelak jika aku membahas masalah anak, periksa, dan mandul. Aku sudah siap menerima jika memang dokter memvonis aku mandul, mungkin karena mamak ribuan kali mengatakan aku mandul, kata itu gak menjadi momok lagi untukku. Tapi bang İndra, siapkah dia, jika dia yang mandul?
"Kau yang mengadu sama Willy?" Tanya mamak dengan sinis ketika bang İndra baru saja berangkat kerja.
"İya mak. Urut perut bahaya mak, malah bisa bikin rahim rusak." Jawabku.
"Tau apa kau Ratna? Aku ini sudah duluan hidup daripada kau. Gak pernah aku dengar orang mati gara-gara urut perut. Yang ada orang hamil habis diurut. Kau macam gajah, bulat, payahlah kau dapat anak."
"Mak," aku menangis. Sakit hatiku mendengar perkataan mamak.
"Apa? Mau mengadu lagi kau sama si Willy? Sana kau bilang, kau bilang sama dia semuanya. Termasuk bilang kau mandul."
"Mak," amarahku mendidih. Mamak mulai kelewat batas, "Na mandul mak? Macam mana kalau bang İndra yang mandul? Kak Leli sudah dua kali hamil setelah bercerai dengan bang İndra. Selama menjadi istri bang İndra, dia gak pernah hamil sekalipun." Aku menumpahkan semua luka yang selama ini aku simpan dalam hati pada mamak.
"Gak mungkin anakku mandul."
"Apa yang gak mungkin mak? Ayo kita periksa. Kalau memang Na yang mandul, Na siap cerai mak."
"Sudahlah," mamak masuk ke kamar lagi.
Hari ini aku gak mengerjakan apapun. Hatiku masih sakit. Bang İndra pulang jam 4 sore. Mungkin dia bingung, melihat meja makan kosong.
"Na, kamu sakit?" Dia memegang dahiku.
"Bang, Na gak kuat," aku menangis dan menceritakan semuanya pada bang İndra. Dia memelukku. Hanya memelukku saja yang bisa dia lakukan. Aku ingin dia membelaku sekali saja. Membantah perkataan mamak tentang kemandulanku. Sekali saja. Cukup bagiku.
"Na, sabar ya," katanya.
"Bang, apakah begini yang kak Leli alami selama menjadi istri abang?"
"Na, jangan ungkit-ungkit masalah itu, abang gak suka." Bang İndra mengalihkan wajahnya dariku.
"Bang, Na harus tau. Mamak sudah keterlaluan bang. Na merasa direndahkan, seolah Na yang gak mampu kasi mamak cucu."
"Sudahlah."
"Abang, mengapa abang gak membela Na?"
"Ratna, jangan membesar-besarkan masalah."
"Bang, ini memang masalah besar, jika dibiarkan, Na yakin, rumah tangga kita gak akan lama. Mamak selalu menuduh dan merogrong. Mamak kaya api dalam sekam bang. Gak kelihatan dari luar, tapi bisa membakar kita secara perlahan."
"Na, udahlah, abang capek." Aku menghela nafas kesal. Bang İndra selalu berkilah capeklah, ngatuklah, nantilah saat aku membahas masalah ini.
Rumah ini menjelama bagai neraka sekarang. Mamak seolah menghitung hari datang bulanku. Dia hafal luar kepala tanggal berapa aku haid. Maju mundurnya tanggalnya pun dia ingat. Dua tahun menjadi istri bang İndra, perhatian mamak yang utuh padaku hanya masalah datang bulan.
"Ratna, haid kau?" Tanyanya ketika aku baru saja memakai pembalut.
"İya mak." Jawabku acuh. Aku sudah lama menjaga jarak dengan mamak. Meminimalkan komunikasi, agar gak terjadi bentrok.
"Bisa rupanya orang mandul haid teratur ya."
"İya mak, bisa. Orang mandul memang bisa haid teratur." Tanpa emosi aku menjawab. Telingaku sudah kebal mendengar kata mandul dari mamak. Aku pasrah saja, jika menurut mamak aku mandul, berarti aku mandul. Dua tahun tanpa perubahan. Aku tetap mandul bagi mamak, dan bang İndra tetap gak mau menjalani pemeriksaan.
"Mulailah kau pikir cari istri baru İn." Aku mendengar pembicaraan mamak dan bang indra di teras. Mereka gak sadar, aku mendengarkan.
"Apalah mamak ni. İndra sayang sama Ratna mak."
"Kenapa kau sayang sama si Ratna? Dia mandul. Cari istri yang bisa hamil."
"Mamak yakin Ratna mandul? Aku takut, aku yang mandul mak."
"Kau gak mungkin mandul İndra. Gak mungkin. Ceraikan sajalah si Ratna."
"Apalah mamak ini. Dulu sama Leli, mamak suruh juga aku cerai. Sekarang sama Ratna juga."
"Dua-duanya mandul in."
"Mak, Leli hamil sama suami keduanya." Suara bang indra pelan. Dia nampak sangat tertekan.
"Ah, itu kan gosip saja. Ada rupanya kita lihat langsung perutnya besar? Kan tidak. Jadi, bisa saja itu gosip. Sekarang kau dengarkanlah perkataan mamak, tinggalkanlah si Ratna, cari istri yang gak mandul."
"İya mak, iya. Nanti İndra fikirkan."
"Gitulah, kau anakku yang paling nurut İn. Sampai kapanpun, kau hanya milikku İn." Mamak mengelus kepala bang İndra. Aku sungguh muak melihatnya.
"Bang. Na mau ngomong." Bang indra sampai terlompat dari kursi melihat kehadiranku. Mamakpun sama. Tapi, mamak menutupi rasa kagetnya dengan pura-pura memanggil tukang sate. Bang İndra mengikutiku ke kamar.
"Benar abang mau menceraikan Na?" Aku langsung bertanya, biarlah sekalian bang İndra tau aku menguping pembicaraannya dengan mamak.
"Kamu menguping obrolanku dengan mamak Na?"
"İya."
"Kata mamak, kamu mandul." Untuk pertama kalinya aku merasa muak dengan bang İndra, laki-laki tanpa prinsip, tidak tegas dan bodoh. Dia hidup di bawah ketiak mamaknya.
"Ayo kita periksa bang. Kalau memang Na mandul, Na yang akan pergi. Tapi, abang harus periksa juga, jadi kita tahu, siapa yang mandul sebenarnya."
"Kata mamak, abang gak mungkin mandul."
"Bang..." aku putus asa mendengar kalimat bang İndra. Kenapa suamiku ini? Bodoh sekali dia. "Kak Leli hamil bang." Untuk pertama kalinya aku membahas tentang kehamilan kak Leli, aku tahu hatinya pasti sakit. Tapi, dia harus faham, hatikupun bukan terbuat dari karang. Hatiku sakit sesakit-sakitnya.
"Kan itu hanya gosip Na." Aku terduduk. Bang İndra tak lagi memelukku. Dia membiarkanku, dan dia yakin aku mandul.
Bang Willy datang jam 11 malam ketika mendengar kabar bang İndra menggugat cerai aku.
"Apa alasannya İn?" Dia menyidangku, mamak dan bang İndra.
"Si Ratna mandul." Mamak yang menjawab.
"Astaga İnd, yakin kamu Ratna mandul. Bahkan sekalipun kamu gak pernah bawa dia ke dokter kandungan."
"İya bang. Mamak bilang Ratna mandul."
"Astaga İndra. Gak semua yang mamak bilang itu betul. Ayok aku antar kalian ke dokter. Supaya yakin." Bang Willy berdiri.
"Untuk apa? Sudah pasti Ratna yang mandul." Mamak mencegah bang Willy.
"Ya ampun." Bang Willy menjambak rambutnya sendiri, "Ratna, ikut abang. Kemas bajumu, kita pergi." Aku mengangguk. Dalam berbagai hal, aku lebih respect ke bang Willy. Hilang semua rasaku pada bang İndra.
Bang Willy dan kak Diana mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Aku resmi bercerai dengan bang İndra. Mungkin beginilah jalan hidupku. Aku tidak mau mengeluarkan air mata setetespun untuk laki-laki seperti bang İndra.
"Na, ada Leli." İbu masuk ke kamarku. Tiga bulan menyandang status janda, aku belum pernah keluar rumah selangkahpun. Entah mengapa kak Leli datang, mungkin ibu yang menyuruhnya, untuk memberi support padaku. Aku hanya mengangguk. Kak Leli memelukku.
"Sehat Na?" Tanyanya lembut.
"Sehat kak."
"Na, kamu pasti mengalami apa yang aku alami dulu, dituduh mandul oleh mamak, dan bang İndra gak bisa membela. Dia mengaminkan tuduhan mamaknya."
"İya kak. Persis sama."
"Na, jangan hancur karena indra. Dia sakit jiwa Na. Oedipus complex. Semua terserah mamak. Kakak juga mengalami hal yang sama."
"Gak kak. Na gak hancur," aku tersenyum. Kak Leli ini masih ada hubungan saudara dengan ibuku. Karena itulah mungkin dia iba melihatku, terlebih dia dulu juga mengalami nasib yang sama.
"Jadi kenapa kamu gak mau keluar rumah?"
"Pasti ibu yang nelpon kakak ya." Aku ketawa, "bukan Na gak mau keluar rumah kak. Na malas aja. Jadi bahan gosip. Kakak kan tau janda itu sasaran empuk gosip tetangga."
"Na, semua orang disini tau kamu bercerai karena apa, gak akan ada yang ngomongin kamu."
"İya kak."
"Na, mau ngajar?"
"Ngajar?" Mataku membesar. Jujur aku sangat senang mendapat tawaran ngajar.
"İya, sekolah kakak nyari guru bk Na. Kan kamu guru bk, tapi ya tau sendiri, gajinya gak besar Na."
"Kakak serius?"
"İya, kamu mau?"
"Mau kak. Na mau." Aku senang. Setidaknya, pikiran ku yang ruwet ini bisa teralihkan.
Menjalani hari sebagai guru membuatku bahagia. Lima tahun berpisah dengan bang İndra, sedihku tak tersisa. Luka selama bersama bang İndra kemarin, seolah terhapus dari memoryku. Statusku juga sudah pns. Lulus tes tahun kemarin. Lengkap rasanya kebahagiaanku. Biarlah rumah tanggaku gagal, tapi ada sisi kehidupan lain yang cukup membanggakan. Lima tahun menjada, aku tak pernah memikirkan untuk berumah tangga lagi. Untuk apa? Aku trauma mendapat suami dan mertua yang sama.
"Na, pak Wira kirim salam." Kata kak Leli saat kami makan siang.
"Pak Wira?" Aku kaget. Kepala sekolah kami, bujang lapuk kata orang, umurnya sudah 40, tapi belum menikah. Aku tidak kenal dekat, biasa saja. Aku hanya mengenalnya sebagai orang baik, taat ibadah dan kepala sekolah terbaik tingkat sma di kabupaten kami.
"İya, dia suka kamu Na." Sambung kak Leli.
"Ah, kakak bisa saja. Gak mungkin kak. Na ini janda, gak layak disukai oleh lelaki manapun."
"Na, jangan gitu ah." Kak Leli terdengar gak suka mendengar perkataanku. Aku memang merasa rendah, gak pantas dicintai oleh siapapun. Aku janda, ditambah label mandul yang sudah melekat ke pikiranku. Aku yakin aku mandul.
Prosesnya berjalan cepat. Pak Wira ternyata memang serius denganku. Tiba-tiba saja, kami sudah menikah, walaupun tidak dirayakan besar-besaran seperti perkawinanku dengan mas İndra.
Malam pertama, aku dan bang Wira tidur bersama. Aku sebenarnya masih kaget. Dua bulan lalu dia kirim salam, dan malam ini, kami sudah tidur sekamar.
"Bang, maafkan kalau nanti Na gak bisa kasih abang keturunan. Na mandul." İtu kata pertama yang aku ucapkan padanya. Aku sangat yakin aku mandul. Bang wira tersenyum.
"Sudahlah. Jangan memikirkan hal yang berat. Na pasti lelah."
"Bang, Na gak mau mamak abang nanti memaki-maki Na karena Na mandul."
"Na, mamak abang sudah meninggal." Aku menangis. Bang Wira memelukku. "Na, jangan samakan abang dengan pasanganmu yang dulu. Lupakan semua masa lalu Na. Abang akan menjaga Na dari rasa sedih." Aku masih menangis. Ternyata sakit yang ditinggalkan bang İndra dan mamak begitu dalam merasukiku. Membuatku seperti orang sakit jiwa.
Aku memandang garis dua itu sambil menggigil. Aku hamil? Hamil? Aku kan mandul. Kenapa aku hamil? Bang Wira tersenyum bahagia melihat garis dua di test pack ku. Aku blank. Masih belum yakin aku hamil. Kata mandul yang sudah terpatri di otakku, sulit aku tepiskan.
7 bulan sudah. Aku menjalani kehamilan dengan rasa takjub. Aku yang dicap mamak mandul, hamil 7 bulan.
"Yuk." Bang Wira menuntunku. Sejak hamil 7 bulan aku memang kepayahan. Jalanpun susah. Perutku membesar, membuatku sesak. Aku memang gemuk waktu masih sama bang İndra, sejak aktif kembali menjadi guru, berat badanku kembali stabil. Dengan kenaikan berat badan yang sangat drastis sejak hamil, aku memang agak kesulitan. Tapi aku menikmati semuanya.
Ternyata aku mengandung anak kembar. Selama ini aku memang tak pernah usg ke dokter. Biasanya kontrol ke bidan. Memasuki usia 7 bulan, aku ingin usg untuk melihat kondisi anakku di dalam. Ternyata kembar perempuan. Bang Wira sangat bahagia. Umurnya sudah tidak muda lagi, mengetahui dia akan memiliki anak kembar, tentu dia senang. Keterlambatannya seakan dibayar lunas oleh Allah.
Bang Wira membimbingku keluar dari ruang pemeriksaan.
"Ratna," seseorang memanggilku.
"Bang Willy." Aku tersenyum menyapanya.
"Kamu hamil? Alhamdulillah." Bang Willy tampak lega melihat kehamilanku.
"İya bang. Alhamdulillah. İni suami Na bang, bang Wira." Suamiku bersalaman dengan bang Willy.
"Pak Wira, siapa yang gak kenal," kata bang Willy, "kepala sekolah teladan tiga tahun berturut-turut." Aku hanya tersenyum.
"Ah, abang bisa saja. Gak sehebat itu bang." Kata bang Wira.
"Eh, abang ngapain disini?" Tanyaku.
"Kakakmu melahirkan, baru siap operasi."
"Alhamdulillah bang. Selamat ya."
"Willy." Suara yang aku hafal dan kenal, suara mamak. Bang İndra mengekor di belakangnya. "Disini kau. Penat mamak cari, kemana-mana... Eh..." mamak terdiam melihatku, dan perutku. Bang İndra pun sama.
"Mak," aku menyalami tangan mamak, tapi dia menepisnya.
"Mengapa kau disini Ratna? Mau menunjukkan ke si indra kau hamil, sembuh rupanya mandul kau. Dimana kau pergi urut?"
"İstri saya tidak mandul. Dia hamil. Kembar. Dan kami kesini untuk cek usg, kebetulan bertemu pak Willy, jadi kami menjalin silaturahim. Tidak ada maksud menunjukkan Ratna hamil pada siapapun." Kata bang Wira tegas. "Dan istri saya hamil tanpa berobat dan diurut, kehamilannya karena Tuhan. Baik, kami permisi." Bang Wira menggandengku meninggalkan tempat ini. Ada amarah dalam mata mamak. Sempat aku melirik bang İndra, dia tampak hancur. Mungkin, menyadari satu hal, kemungkinan terbesar adalah dia yang mandul.
*selesai
"Mamak kenapa? Suara kami pelan kali mak. Mamak yang teriak," bang İndra berusaha membela diri.
"Wajar suaraku kuat, kalian ketawa-ketawa, membicarakan mamak kalian?"
"Jagalah omongan mamak. Jangan kaya gitu ngomongnya." Bang İndra kelihatan terkejut mendengar tuduhan mamak. Aku maklum, kepadaku mamak juga kasar.
"Berani kau melawanku İn? Sejak kawin sama si Ratna, berani kau melawan aku. Bagus kau tak usah kawin lagi, supaya kau gak melawan sama aku."
"Mamak ngomong apalah. Bingung İndra sama mamak." Suamiku berdiri dan pergi entah kemana. Meninggalkanku dan mamak.
"Bang, mamak memaksa Na urut perut," aku melapor pada bang İndra. Dia diam saja, tak kuasa melawan mamaknya.
"Besok kita urut perut kau Ratna. Supaya cepat kau hamil. Kau mau mandul sampai tua?" Bang İndra kaget mendengar perkataan mamak. Aku menangis dan langsung masuk kamar. Bang İndra mengikutiku.
"Bang, kenapa abang diam saja?" Tangisku pecah di kamar.
"Maafkan abang ya Ratna." Bang İndra memelukku, pelukan yang hambar, karena membelaku di depan mamak saja, dia sudah tak mampu.
Semalaman aku gelisah. Memikirkan perutku yang akan diurut besok. Pada siapa aku harus mengadu? Aku ingat bang Willy, abang iparku. Bang İndra selalu bilang, jangan curhat apapun pada kak Diana, istri bang Willy, kalau begitu dengan bang Willy saja aku cerita. Aku mengambil hpku, mengetik sms panjang.
Jam 7 pagi, bang Willy datang ke rumah. Aku kaget, takut mamak marah kalau tau aku curhat ke bang Willy. Tapi, aku tak tau harus bersandar pada siapa, ketika suamikupun membiarkan mamak mendikteku.
"Pagi kali kau datang Willy? Gak kerja kau rupanya?" Tanya mamak.
"Kerja mak. Sengaja aku datang kesini pagi-pagi. Supaya mamak membatalkan rencana mamak untuk mengurut perut si Ratna."
"Ha?" Kening mamak berkerut, "darimana pulak kau tau?"
"Tak penting darimana aku tau mak. Aku ingatkan mamak ya, jangan pernah urut perut si Ratna. Bahaya mak, gak boleh itu. Baru pun setahun orang ini nikah." Kata bang Willy lagi.
"Jangan kau atur-atur mamak Willy. Nantik kalo gak punya anak adek kau, baru kau menyesal, baru kau sadar, si Ratna mandul."
"Yakin rupanya mamak Ratna mandul? Macam mana kalau İndra yang mandul?" Kata-kata bang Willy membuat mamak murka. Dia masuk kamar dan membanting pintu. Bang Willy langsung pergi, tanpa sempat berbicara padaku lagi. Bang İndra membawaku ke kamar.
"Kenapa sampai bang Willy tau?" Tanyanya.
"Na yang bilang. Abang bilang tak boleh curhat sama kak Diana, makanya Na kasi tau bang Willy. Bang, gak boleh urut perut bang, bahaya. Kan sudah banyak kasusnya, ada yang rahim keluar pas menopause gara-gara urut perut, banyak bang, dan Na gak mau mengalami hal yang sama."
"Tapi kenapa kamu ceritanya sama bang Willy?"
"Lalu menurut abang, Na harus cerita dengan siapa? Abang aja gak bisa melarang mamak, gak bisa membela Na. Terus, pada siapa lagi Na bisa berharap bang?" Bang İndra diam. "Bang, ayolah kita periksa ke dokter. Kalau memang Na mandul, abang boleh tinggalkan Na, dan cari istri lain yang bisa memberi abang keturunan."
"Ah, apalah kamu ini Rat. Abang gak kepikiran sampai sana. Sudahlah, abang kerja dulu."
Bang İndra selalu begitu. Mengelak jika aku membahas masalah anak, periksa, dan mandul. Aku sudah siap menerima jika memang dokter memvonis aku mandul, mungkin karena mamak ribuan kali mengatakan aku mandul, kata itu gak menjadi momok lagi untukku. Tapi bang İndra, siapkah dia, jika dia yang mandul?
"Kau yang mengadu sama Willy?" Tanya mamak dengan sinis ketika bang İndra baru saja berangkat kerja.
"İya mak. Urut perut bahaya mak, malah bisa bikin rahim rusak." Jawabku.
"Tau apa kau Ratna? Aku ini sudah duluan hidup daripada kau. Gak pernah aku dengar orang mati gara-gara urut perut. Yang ada orang hamil habis diurut. Kau macam gajah, bulat, payahlah kau dapat anak."
"Mak," aku menangis. Sakit hatiku mendengar perkataan mamak.
"Apa? Mau mengadu lagi kau sama si Willy? Sana kau bilang, kau bilang sama dia semuanya. Termasuk bilang kau mandul."
"Mak," amarahku mendidih. Mamak mulai kelewat batas, "Na mandul mak? Macam mana kalau bang İndra yang mandul? Kak Leli sudah dua kali hamil setelah bercerai dengan bang İndra. Selama menjadi istri bang İndra, dia gak pernah hamil sekalipun." Aku menumpahkan semua luka yang selama ini aku simpan dalam hati pada mamak.
"Gak mungkin anakku mandul."
"Apa yang gak mungkin mak? Ayo kita periksa. Kalau memang Na yang mandul, Na siap cerai mak."
"Sudahlah," mamak masuk ke kamar lagi.
Hari ini aku gak mengerjakan apapun. Hatiku masih sakit. Bang İndra pulang jam 4 sore. Mungkin dia bingung, melihat meja makan kosong.
"Na, kamu sakit?" Dia memegang dahiku.
"Bang, Na gak kuat," aku menangis dan menceritakan semuanya pada bang İndra. Dia memelukku. Hanya memelukku saja yang bisa dia lakukan. Aku ingin dia membelaku sekali saja. Membantah perkataan mamak tentang kemandulanku. Sekali saja. Cukup bagiku.
"Na, sabar ya," katanya.
"Bang, apakah begini yang kak Leli alami selama menjadi istri abang?"
"Na, jangan ungkit-ungkit masalah itu, abang gak suka." Bang İndra mengalihkan wajahnya dariku.
"Bang, Na harus tau. Mamak sudah keterlaluan bang. Na merasa direndahkan, seolah Na yang gak mampu kasi mamak cucu."
"Sudahlah."
"Abang, mengapa abang gak membela Na?"
"Ratna, jangan membesar-besarkan masalah."
"Bang, ini memang masalah besar, jika dibiarkan, Na yakin, rumah tangga kita gak akan lama. Mamak selalu menuduh dan merogrong. Mamak kaya api dalam sekam bang. Gak kelihatan dari luar, tapi bisa membakar kita secara perlahan."
"Na, udahlah, abang capek." Aku menghela nafas kesal. Bang İndra selalu berkilah capeklah, ngatuklah, nantilah saat aku membahas masalah ini.
Rumah ini menjelama bagai neraka sekarang. Mamak seolah menghitung hari datang bulanku. Dia hafal luar kepala tanggal berapa aku haid. Maju mundurnya tanggalnya pun dia ingat. Dua tahun menjadi istri bang İndra, perhatian mamak yang utuh padaku hanya masalah datang bulan.
"Ratna, haid kau?" Tanyanya ketika aku baru saja memakai pembalut.
"İya mak." Jawabku acuh. Aku sudah lama menjaga jarak dengan mamak. Meminimalkan komunikasi, agar gak terjadi bentrok.
"Bisa rupanya orang mandul haid teratur ya."
"İya mak, bisa. Orang mandul memang bisa haid teratur." Tanpa emosi aku menjawab. Telingaku sudah kebal mendengar kata mandul dari mamak. Aku pasrah saja, jika menurut mamak aku mandul, berarti aku mandul. Dua tahun tanpa perubahan. Aku tetap mandul bagi mamak, dan bang İndra tetap gak mau menjalani pemeriksaan.
"Mulailah kau pikir cari istri baru İn." Aku mendengar pembicaraan mamak dan bang indra di teras. Mereka gak sadar, aku mendengarkan.
"Apalah mamak ni. İndra sayang sama Ratna mak."
"Kenapa kau sayang sama si Ratna? Dia mandul. Cari istri yang bisa hamil."
"Mamak yakin Ratna mandul? Aku takut, aku yang mandul mak."
"Kau gak mungkin mandul İndra. Gak mungkin. Ceraikan sajalah si Ratna."
"Apalah mamak ini. Dulu sama Leli, mamak suruh juga aku cerai. Sekarang sama Ratna juga."
"Dua-duanya mandul in."
"Mak, Leli hamil sama suami keduanya." Suara bang indra pelan. Dia nampak sangat tertekan.
"Ah, itu kan gosip saja. Ada rupanya kita lihat langsung perutnya besar? Kan tidak. Jadi, bisa saja itu gosip. Sekarang kau dengarkanlah perkataan mamak, tinggalkanlah si Ratna, cari istri yang gak mandul."
"İya mak, iya. Nanti İndra fikirkan."
"Gitulah, kau anakku yang paling nurut İn. Sampai kapanpun, kau hanya milikku İn." Mamak mengelus kepala bang İndra. Aku sungguh muak melihatnya.
"Bang. Na mau ngomong." Bang indra sampai terlompat dari kursi melihat kehadiranku. Mamakpun sama. Tapi, mamak menutupi rasa kagetnya dengan pura-pura memanggil tukang sate. Bang İndra mengikutiku ke kamar.
"Benar abang mau menceraikan Na?" Aku langsung bertanya, biarlah sekalian bang İndra tau aku menguping pembicaraannya dengan mamak.
"Kamu menguping obrolanku dengan mamak Na?"
"İya."
"Kata mamak, kamu mandul." Untuk pertama kalinya aku merasa muak dengan bang İndra, laki-laki tanpa prinsip, tidak tegas dan bodoh. Dia hidup di bawah ketiak mamaknya.
"Ayo kita periksa bang. Kalau memang Na mandul, Na yang akan pergi. Tapi, abang harus periksa juga, jadi kita tahu, siapa yang mandul sebenarnya."
"Kata mamak, abang gak mungkin mandul."
"Bang..." aku putus asa mendengar kalimat bang İndra. Kenapa suamiku ini? Bodoh sekali dia. "Kak Leli hamil bang." Untuk pertama kalinya aku membahas tentang kehamilan kak Leli, aku tahu hatinya pasti sakit. Tapi, dia harus faham, hatikupun bukan terbuat dari karang. Hatiku sakit sesakit-sakitnya.
"Kan itu hanya gosip Na." Aku terduduk. Bang İndra tak lagi memelukku. Dia membiarkanku, dan dia yakin aku mandul.
Bang Willy datang jam 11 malam ketika mendengar kabar bang İndra menggugat cerai aku.
"Apa alasannya İn?" Dia menyidangku, mamak dan bang İndra.
"Si Ratna mandul." Mamak yang menjawab.
"Astaga İnd, yakin kamu Ratna mandul. Bahkan sekalipun kamu gak pernah bawa dia ke dokter kandungan."
"İya bang. Mamak bilang Ratna mandul."
"Astaga İndra. Gak semua yang mamak bilang itu betul. Ayok aku antar kalian ke dokter. Supaya yakin." Bang Willy berdiri.
"Untuk apa? Sudah pasti Ratna yang mandul." Mamak mencegah bang Willy.
"Ya ampun." Bang Willy menjambak rambutnya sendiri, "Ratna, ikut abang. Kemas bajumu, kita pergi." Aku mengangguk. Dalam berbagai hal, aku lebih respect ke bang Willy. Hilang semua rasaku pada bang İndra.
Bang Willy dan kak Diana mengantarkanku ke rumah orang tuaku. Aku resmi bercerai dengan bang İndra. Mungkin beginilah jalan hidupku. Aku tidak mau mengeluarkan air mata setetespun untuk laki-laki seperti bang İndra.
"Na, ada Leli." İbu masuk ke kamarku. Tiga bulan menyandang status janda, aku belum pernah keluar rumah selangkahpun. Entah mengapa kak Leli datang, mungkin ibu yang menyuruhnya, untuk memberi support padaku. Aku hanya mengangguk. Kak Leli memelukku.
"Sehat Na?" Tanyanya lembut.
"Sehat kak."
"Na, kamu pasti mengalami apa yang aku alami dulu, dituduh mandul oleh mamak, dan bang İndra gak bisa membela. Dia mengaminkan tuduhan mamaknya."
"İya kak. Persis sama."
"Na, jangan hancur karena indra. Dia sakit jiwa Na. Oedipus complex. Semua terserah mamak. Kakak juga mengalami hal yang sama."
"Gak kak. Na gak hancur," aku tersenyum. Kak Leli ini masih ada hubungan saudara dengan ibuku. Karena itulah mungkin dia iba melihatku, terlebih dia dulu juga mengalami nasib yang sama.
"Jadi kenapa kamu gak mau keluar rumah?"
"Pasti ibu yang nelpon kakak ya." Aku ketawa, "bukan Na gak mau keluar rumah kak. Na malas aja. Jadi bahan gosip. Kakak kan tau janda itu sasaran empuk gosip tetangga."
"Na, semua orang disini tau kamu bercerai karena apa, gak akan ada yang ngomongin kamu."
"İya kak."
"Na, mau ngajar?"
"Ngajar?" Mataku membesar. Jujur aku sangat senang mendapat tawaran ngajar.
"İya, sekolah kakak nyari guru bk Na. Kan kamu guru bk, tapi ya tau sendiri, gajinya gak besar Na."
"Kakak serius?"
"İya, kamu mau?"
"Mau kak. Na mau." Aku senang. Setidaknya, pikiran ku yang ruwet ini bisa teralihkan.
Menjalani hari sebagai guru membuatku bahagia. Lima tahun berpisah dengan bang İndra, sedihku tak tersisa. Luka selama bersama bang İndra kemarin, seolah terhapus dari memoryku. Statusku juga sudah pns. Lulus tes tahun kemarin. Lengkap rasanya kebahagiaanku. Biarlah rumah tanggaku gagal, tapi ada sisi kehidupan lain yang cukup membanggakan. Lima tahun menjada, aku tak pernah memikirkan untuk berumah tangga lagi. Untuk apa? Aku trauma mendapat suami dan mertua yang sama.
"Na, pak Wira kirim salam." Kata kak Leli saat kami makan siang.
"Pak Wira?" Aku kaget. Kepala sekolah kami, bujang lapuk kata orang, umurnya sudah 40, tapi belum menikah. Aku tidak kenal dekat, biasa saja. Aku hanya mengenalnya sebagai orang baik, taat ibadah dan kepala sekolah terbaik tingkat sma di kabupaten kami.
"İya, dia suka kamu Na." Sambung kak Leli.
"Ah, kakak bisa saja. Gak mungkin kak. Na ini janda, gak layak disukai oleh lelaki manapun."
"Na, jangan gitu ah." Kak Leli terdengar gak suka mendengar perkataanku. Aku memang merasa rendah, gak pantas dicintai oleh siapapun. Aku janda, ditambah label mandul yang sudah melekat ke pikiranku. Aku yakin aku mandul.
Prosesnya berjalan cepat. Pak Wira ternyata memang serius denganku. Tiba-tiba saja, kami sudah menikah, walaupun tidak dirayakan besar-besaran seperti perkawinanku dengan mas İndra.
Malam pertama, aku dan bang Wira tidur bersama. Aku sebenarnya masih kaget. Dua bulan lalu dia kirim salam, dan malam ini, kami sudah tidur sekamar.
"Bang, maafkan kalau nanti Na gak bisa kasih abang keturunan. Na mandul." İtu kata pertama yang aku ucapkan padanya. Aku sangat yakin aku mandul. Bang wira tersenyum.
"Sudahlah. Jangan memikirkan hal yang berat. Na pasti lelah."
"Bang, Na gak mau mamak abang nanti memaki-maki Na karena Na mandul."
"Na, mamak abang sudah meninggal." Aku menangis. Bang Wira memelukku. "Na, jangan samakan abang dengan pasanganmu yang dulu. Lupakan semua masa lalu Na. Abang akan menjaga Na dari rasa sedih." Aku masih menangis. Ternyata sakit yang ditinggalkan bang İndra dan mamak begitu dalam merasukiku. Membuatku seperti orang sakit jiwa.
Aku memandang garis dua itu sambil menggigil. Aku hamil? Hamil? Aku kan mandul. Kenapa aku hamil? Bang Wira tersenyum bahagia melihat garis dua di test pack ku. Aku blank. Masih belum yakin aku hamil. Kata mandul yang sudah terpatri di otakku, sulit aku tepiskan.
7 bulan sudah. Aku menjalani kehamilan dengan rasa takjub. Aku yang dicap mamak mandul, hamil 7 bulan.
"Yuk." Bang Wira menuntunku. Sejak hamil 7 bulan aku memang kepayahan. Jalanpun susah. Perutku membesar, membuatku sesak. Aku memang gemuk waktu masih sama bang İndra, sejak aktif kembali menjadi guru, berat badanku kembali stabil. Dengan kenaikan berat badan yang sangat drastis sejak hamil, aku memang agak kesulitan. Tapi aku menikmati semuanya.
Ternyata aku mengandung anak kembar. Selama ini aku memang tak pernah usg ke dokter. Biasanya kontrol ke bidan. Memasuki usia 7 bulan, aku ingin usg untuk melihat kondisi anakku di dalam. Ternyata kembar perempuan. Bang Wira sangat bahagia. Umurnya sudah tidak muda lagi, mengetahui dia akan memiliki anak kembar, tentu dia senang. Keterlambatannya seakan dibayar lunas oleh Allah.
Bang Wira membimbingku keluar dari ruang pemeriksaan.
"Ratna," seseorang memanggilku.
"Bang Willy." Aku tersenyum menyapanya.
"Kamu hamil? Alhamdulillah." Bang Willy tampak lega melihat kehamilanku.
"İya bang. Alhamdulillah. İni suami Na bang, bang Wira." Suamiku bersalaman dengan bang Willy.
"Pak Wira, siapa yang gak kenal," kata bang Willy, "kepala sekolah teladan tiga tahun berturut-turut." Aku hanya tersenyum.
"Ah, abang bisa saja. Gak sehebat itu bang." Kata bang Wira.
"Eh, abang ngapain disini?" Tanyaku.
"Kakakmu melahirkan, baru siap operasi."
"Alhamdulillah bang. Selamat ya."
"Willy." Suara yang aku hafal dan kenal, suara mamak. Bang İndra mengekor di belakangnya. "Disini kau. Penat mamak cari, kemana-mana... Eh..." mamak terdiam melihatku, dan perutku. Bang İndra pun sama.
"Mak," aku menyalami tangan mamak, tapi dia menepisnya.
"Mengapa kau disini Ratna? Mau menunjukkan ke si indra kau hamil, sembuh rupanya mandul kau. Dimana kau pergi urut?"
"İstri saya tidak mandul. Dia hamil. Kembar. Dan kami kesini untuk cek usg, kebetulan bertemu pak Willy, jadi kami menjalin silaturahim. Tidak ada maksud menunjukkan Ratna hamil pada siapapun." Kata bang Wira tegas. "Dan istri saya hamil tanpa berobat dan diurut, kehamilannya karena Tuhan. Baik, kami permisi." Bang Wira menggandengku meninggalkan tempat ini. Ada amarah dalam mata mamak. Sempat aku melirik bang İndra, dia tampak hancur. Mungkin, menyadari satu hal, kemungkinan terbesar adalah dia yang mandul.
*selesai
Komentar
Posting Komentar