Udah hampir 2 minggu bertransformasi menjadi warga kota Dumai. Ahem... Tinggal jauh dari orang tua memang sangat berat. Bawaannya jadi mellow gak jelas.
Di Dumai aku ngontrak rumah di dekat pelabuhan bersama seorang teman sekantor, kak Rina. Rumahnya warna orange, petak2 kecil ke belakang. Jadi kalo mau masukin motor ke rumah susah banget karena gank nya kecil. Rumah kami di belakang, nomor 4. Rumah kecil tapi menyenangkan. Bikin betah untuk bertahan gak keluar rumah seharian.
Kesan pertama yang begitu menggoda tinggal di Dumai adalah panas. Udara Dumai panasnya keterlaluan, bikin kulit cepat hitam. Terus Dumai juga mahal. Harga2 dua kali lipat dari harga di Pekanbaru. Di sini, air nya jelek,jadi buat mandi dan menjalani aktipitas lain yang membutuhkan kami beli air. Di rumah itu udah bunker bawah tanah. Sejenis bak besar gitu. Cukuplah untuk menampung 5000 liter air.
Setiap hari menempuh jarak 32 kilometer untuk PP dari rumah ke kantor. Kantor tercinta itu, belum masuk listrik. Jadi kalo lagi gak rame, suasananya tenang dan tentram. Kanan, kiri dan belakang kantor hutan belantara, mungkin babi atau harimau masih bermukim di sana. Di depannya jalan lintas luar kota trus juga ada pipa2 sangat besar yang aku gak tahu gunanya untuk apa.
Di Dumai, bahasa yang digunakan sehari2 adalah bahasa Melayu. Kalo di Pekanbaru, anak2 kecilnya kan mahir bahasa Padang. Nah, kalo di Dumai, kaya upin dan ipin.
"Apelah dikau ni... Awak bilang tak macam tu... Tunggu kejap ye"
Hahahaha... Pertama dengarnya lucu. Tapi sekarang, logat bicara ku udah agak berubah, macam orang Dumai.
Belum banyak yang aku tahu tentang Dumai. Tapi, aku senang di sini. Yaaaahhh, walaupun tak ada yang senyaman rumah sendiri, tetap aku berusaha melebur dalam panasnya kota Dumai.
Di Dumai aku ngontrak rumah di dekat pelabuhan bersama seorang teman sekantor, kak Rina. Rumahnya warna orange, petak2 kecil ke belakang. Jadi kalo mau masukin motor ke rumah susah banget karena gank nya kecil. Rumah kami di belakang, nomor 4. Rumah kecil tapi menyenangkan. Bikin betah untuk bertahan gak keluar rumah seharian.
Kesan pertama yang begitu menggoda tinggal di Dumai adalah panas. Udara Dumai panasnya keterlaluan, bikin kulit cepat hitam. Terus Dumai juga mahal. Harga2 dua kali lipat dari harga di Pekanbaru. Di sini, air nya jelek,jadi buat mandi dan menjalani aktipitas lain yang membutuhkan kami beli air. Di rumah itu udah bunker bawah tanah. Sejenis bak besar gitu. Cukuplah untuk menampung 5000 liter air.
Setiap hari menempuh jarak 32 kilometer untuk PP dari rumah ke kantor. Kantor tercinta itu, belum masuk listrik. Jadi kalo lagi gak rame, suasananya tenang dan tentram. Kanan, kiri dan belakang kantor hutan belantara, mungkin babi atau harimau masih bermukim di sana. Di depannya jalan lintas luar kota trus juga ada pipa2 sangat besar yang aku gak tahu gunanya untuk apa.
Di Dumai, bahasa yang digunakan sehari2 adalah bahasa Melayu. Kalo di Pekanbaru, anak2 kecilnya kan mahir bahasa Padang. Nah, kalo di Dumai, kaya upin dan ipin.
"Apelah dikau ni... Awak bilang tak macam tu... Tunggu kejap ye"
Hahahaha... Pertama dengarnya lucu. Tapi sekarang, logat bicara ku udah agak berubah, macam orang Dumai.
Belum banyak yang aku tahu tentang Dumai. Tapi, aku senang di sini. Yaaaahhh, walaupun tak ada yang senyaman rumah sendiri, tetap aku berusaha melebur dalam panasnya kota Dumai.
Komentar
Posting Komentar